“Ya..ngak Pak Yai”.
“Ke sini mau minta ijazah kan”, tanya Pak Yai
Tanpa aku beri tahu Yai Irfan sudah tau maksud kedatangan kami. Saya berserta teman-teman semakin berdebar-debar jantungnya.
“Maaf Pak Yai, memang gitu maksud kedatangan kami”, jawabku dengan agak malu memandang wajah Pak Yai.
Pak Yai tersenyum melihat kami, dimana perasaan kami semakin tidak enak saja. Tanpa pikir panjang Pak Yai memberikan wejanganya. Dunia ini seperti permainan drama, dimana semua pemainnya adalah pemeran utamanya. Tapi seorang pemeran utama adalah mereka yang mampu dan bisa.
Mereka melakukan yang terbaik, kalian minta ijazah pasti berharap ijazah tentang kanuragan dan lain sebgainya. Sekarang ini sudah tidak zamanya, pemeran utama itu bukan mengandalkan otot tapi pikirannya. Maka didiklah pikiranmu, dan tentu berikan makanan yang bergizi supaya jasmanimu juga ikut mendukungnya.
Kami semakin bingung, berharap mendapatkan amalan malahan mendapatkan ceramah dan petuah.
Lalu Yai Irfan mengambil secarik kertas, dan menuliskan beberapa potong ayat. Diberikan tulisan itu kepada saya.
“Coba kamu baca”, suruh Yai Irfan
Akupun membacanya, tulisan itu berbunyi ya sam’iu ya bashir yang artinya Allah itu maha mendengar dan maha melihat.
“Inikan salah satu dari asmaul husna. Apa manfaat dan khasiatnya Pak Yai”, tanyaku pada Pak Yai.
“Kamu benar. Manfaat dan kasiatnya, bisa menjadikanmu lebih cerdas dan pintar. Kalian harus membacanya 500 kali setelah selesai shalat jum’at.
Waduh…dalam hatiku mengatakan begitu, 500 kali. Akupun dan teman-teman akhirnya minta pamitan dan rasa terima kasih saya ucapkan kepada Yai Irfan. Kami mencium tangan Yai Irfan, dalam adat tradisional, katanya supaya mendapatkan berkah. Jarak sepuluh meter dari rumah Yai Irfan, Nawawi dan Fahmi saling komentar.
“Ngak jadi kebal bacok nih”, kata Fahmi. Lain lagi dengan Nawawi yang mengatakan
“Wah..wah..ngak jadi dapat cewek dong”.
Kami tetap menerima lapang dada, karena petuah Pak Yai adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat pastinya. Begitu juga dengan diriku semakin penasaran akan manfaat dan khasiat, apa lagi membacnaya setelah habis selesai shalat jum’at.
Taukah engkau tujuanku menuntut ilmu dan sampai bapakku hanya berpesan dua syarat itu. Sebenarnya aku di pondok pesantren ada sesuatu menjadi alasannya. Pertama, nilai ujian akhirku waktu SMP itu sangat jelek. Kata bapak, nilai semacam ini tidak bisa diterima disekolah negeri yang favorit. Memang bapak saya, dalam sekolah ukurannya sekolah negeri yang berpatok dengan nilai.
Kedua, karena ketakutan saya sekolah di sekolah yang berbasis agama. Aku tidak bisa membaca al-Qur’an sama sekali. Bahkan aku ingat waktu ada ujian praktek kelulusan untuk membaca al-Qur’an, aku mengajak teman yang tidak bisa untuk keluar dari ruang kelas. Kebetulan sekolah kami dekat dengan pabrik, dan kami melompat dan bersembunyi di situ. Namun beberapa hari kemudian, kami tetap saja dipanggil guru agama, namanya Bu Ida. Kebetulan juga bapakku juga pengajar agama di sekolah. Karena membaca Qur’an adalah kewajiban, sayapun membacanya. Aku membaca dikantor, betapa malunya diriku disaksikan banyak guru. Namun sungguh luar biasa diluar batas nalarku, aku bisa membacanya. Bu Ida bilang; kamu bisa baca Qur’an gitu kok lari. Aku hanya tersenyum, dan keluar dari ruang guru. Dalam hatiku terima kasih bapak, engkau telah mengajarkanku mengingat. Memang aku diajar oleh bapakku sendiri, tapi aku pura-pura melihat Qur’an yang sesungguhnya aku menghafal. Jadi aku tidak mengerti huruf-huruf arab.