BARISAN.CO – “Kayak gini kok katanya mau revolusi industri empat titik kosong,” kata seorang fans Manchester United, Pandu, saat menonton timnya tertinggal 0-1 dari Aston Villa. Ia tidak sedang mengomentari apapun terkait pertandingan, melainkan layanan streaming videonya yang tersendat-sendat sepanjang laga itu berlangsung.
Air muka kecewa Pandu semakin tampak jelas setelah tahu skor 0-1 itu bertahan hingga babak kedua usai. MU kalah tipis di kandang sendiri. Malam itu, sebagaimana Pandu berucap, ia merasa ada dua masalah mengutuknya sekaligus.
“Pertama dikutuk oleh Aston Villa. Kedua dikutuk oleh pemerintah Indonesia yang gagal menyediakan layanan internet bagus di dusun tempat saya tinggal ini,” kata Pandu.
Bicara kualitas internet di tempatnya tinggal di Dusun Pending Gigirejo, Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Pandu tampak nyaris putus harapan. Ia sendiri mengaku sudah menjajal banyak provider demi menikmati internet cepat. Tetapi mulai dari provider merah, biru, sampai oranye, hasilnya tak pernah memuaskan. Padahal, kecepatan internet amat memengaruhi banyak aktivitas kesehariannya.
“Saya butuh internet bukan cuma buat nonton MU thok. Saya pekerja freelance desain grafis. Alhamdulillah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tapi kadang saya kebayang-bayang, kalau misal pemerintah membantu menyediakan internet cepat, saya mungkin bisa mengembangkan bisnis jasa desain ini dan memenuhi kebutuhan, bukan hanya saya, tapi juga keluarga,” kata Pandu.
Pandu boleh jadi adalah gambaran umum dari seseorang yang memiliki kebebasan (freedom) dan kemampuan (ability) untuk mencapai sesuatu yang ia anggap bernilai. Sayangnya, ia terhambat faktor ketidaksetaraan kesempatan (opportunity) dalam mengakses internet layak, dan itu membuat kebebasan maupun kemampuannya tak bisa optimal.
Pandu bukan satu-satunya yang mengalami hal demikian. Di dusun tempat ia tinggal saja, ada puluhan anak muda seperti dirinya yang terpaksa hidup mengandalkan internet berkecepatan pas-pasan.
Ada beberapa di antara anak muda itu yang memutuskan pindah ke kota demi agar bisa merasakan internet cepat. Namun, jelas itu tak menyelesaikan persoalan lemotnya akses internet di perdesaan.
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2019, dari total 83.820 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, masih ada sebanyak 25.743 desa/kelurahan yang belum dapat menikmati sinyal internet kuat (atau setara 30,67 persen). Data selengkapnya bisa dilihat pada grafik di atas.
Meskipun jumlah tersebut sudah lebih baik dibanding tahun sebelumnya, belum ada indikasi bahwa persoalan internet lemot di perdesaan (terutama di wilayah 3T: terdepan, terpencil, dan tertinggal) akan selesai dalam waktu dekat. Dan jika hal ini tidak ditangani serius, akan ada kesenjangan digital yang semakin langgeng antara perkotaan dan perdesaan di Indonesia.
Hal ini sebenarnya sudah diperingatkan pula oleh Bank Dunia dalam laporannya berjudul Beyond Unicorns: Harnessing Digital Technologies for Inclusion in Indonesia. Dikutip dari Kompas, Bank Dunia mencontohkan kasus pada 2019, yaitu sebanyak 62 persen orang dewasa di perkotaan terhubung internet, sementara di perdesaan sebesar 36 persen. Pada 2011, orang dewasa yang terkoneksi dengan internet di perkotaan dan perdesaan masing-masing 20 dan 6 persen.
Banyak faktor mengapa desa tidak mendapatkan cukup sinyal internet. Umumnya disebut hal-hal yang bersifat geografis seperti ketinggian, jarak, letak, dan kontur wilayah.
Namun di luar itu, sebetulnya ada pula faktor lain yang tak kalah berpengaruh seperti keberadaan menara base transceiver station (BTS) maupun kolaborasi antara pemerintah dan swasta.