Sandiwara di Atas Drama
Layar dibuka dan sandiwara dimulai, penonton berjarak waktu
Tapi apakah itu waktu, jika sutradara bertangan besar
Dunia ini sudah penuh cerita, sebagaimana kata para kitab
Bahwa hidup manusia dimulai dari cerita, dan berakhir pada cerita
Seorang veteran aktor menunggu di sebeng, menanti perannya
Adakah cerita tentang sejoli saling baku tembak
Sang primadona menulis cerita di biliknya lalu ia mainkan
Tentang lakon sejarah yang difiksikan, seperti ujar seorang filsuf
Betulkan itu fiksi, bila semua berdasar pada politik
Bahkan harga sayur naik, bensin mesti beraplikasi
Lalu bagaimana jika kuasa negara ada di tangan partai politik
Terlebih hidup rakyat beraroma pertarungan partai politik
Sang veteran aktor dan primadona pun bertemu dalam satu adegan
Lampu! teriak sang aktor, aku minta lampu diterangkan
Sahut primadona: bagaimana mungkin sandiwara berlangsung tanpa waktu?
Tapi yang menyala terang justru ruang penonton
Inikah cerita fiksi yang sesungguhnya
Lakon dengan cerita politik, ekonomi, dan terutama hukum…
Tak ada kisah percintaan di panggung drama terbesar
Hingga sandiwara berakhir, panggung tetap gelap
Sang aktor pergi penuh luka di tubuh dan jiwanya
Lalu primadona bernyanyi pilu dalam sunyi lampus
“Inilah aku, hyena, dalam dunia perjudian manusia…”
Semarang, 22 Juli 2022
Matahari Kita
Mungkinkah kita ke matahari, melewati jalan reformasi
Kebebasan seperti mencabuti rumput di dalam hutan
Mungkinkah aku Tarzan setelah kota dibangun serupa kota dunia
Soekarno bilang ini tanah sorga 1945, sambil mencabut pohon seakarnya
Masihkah kita menunggu di antrian memanjang
Setelah Soeharto mengubah politik kebudayaan menjadi politik ekonomi
Aku masih berjalan di jalan segala bayang penantian
Barangkali masih ada pertemuan yang tertunda
Kala kau kata, pertemuan adalah keindahan
Di Yogya, Semarang, Jakarta, kembali ke Tegal para tergusur
Apa ada angin di Jakarta, tanya Umbu atas logika pusat
Bukankah setiap kota atau desa adalah pusat
Lanjut Umbu: pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati
Kita seniman yang gagu dalam kitab sejarah, dalam kata tak bicara
Tak sebagaimana Chairil, memerdekakan bangsa dengan bahasa
Atau rakyat yang lebih ditempa pengalaman tapi terus direndahkan: rakyat tidak tahu sastra!
Bukankah puisi adalah pengalaman, selarat si binatang jalang, semenderita kaum tertindas
Ayo seniman, tegak berdiri di setiap kerajaan budaya
Sebab, seniman di puncak gunung sekali pun adalah: pusat..!
Semarang, 18 Juli 2022