Suluk Senen Pahingan 30: Desakralisasi Jabatan Akademik
DESAKRALISASI jabatan Akademik (Profesor), sebuah gagasan yang diserukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, telah memicu berbagai reaksi di kalangan akademisi dan masyarakat umum.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Rektor UII Nomor: 2748/Rek/10/SP/VII/2024 kepada pejabat struktural di lingkungan UII yang secara resmi ia tandatangani di Yogyakarta, Kamis.
“Untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi, bersama ini disampaikan bahwa seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penanda tangan Rektor yang selama ini tertulis jabatan lengkap ‘Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.’ agar dituliskan tanpa jabatan menjadi ‘Fathul Wahid’,” tulis Fathul dalam edaran itu.
Fathul Wahid berharap jabatan profesor tidak dianggap sebagai sebuah status sosial yang perlu dikejar-kejar.
Persoalan internal kampus ini mendapatkan tanggapan, Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Forum Rektor Indonesia (FRI) Mohammad Nasih tak setuju dengan desakralisasi jabatan profesor yang diserukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid .
Menurutnya, para profesor justru harus menjaga muruah jabatan tersebut sebagai jabatan tertinggi di dunia akademik.
“Enggak perlu desakralisasi. Justru kita semua perlu menjaga martabat dan maruah serta kemuliaan profesor sebagai jabatan akademik tertinggi,” kata Nasih dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (19/7).
Desakralisasi Jabatan Akademik
Istilah “desakralisasi” dalam konteks ini merujuk pada upaya untuk mengurangi atau menghilangkan aura kesucian atau keagungan yang selama ini melekat pada jabatan profesor.
Pada dasarnya, desakralisasi jabatan profesor menyentuh aspek fundamental dari bagaimana masyarakat melihat dan menghargai kontribusi akademisi.
Dengan memperkenalkan pandangan yang berbeda ini, kita bisa mengeksplorasi lebih lanjut mengenai makna, peran, dan dampak dari perubahan pandangan terhadap jabatan profesor.
Melalui diskusi Suluk Senen Pahingan Edisi 30 dengan mengusung tema, “Desakralisasi Jabatan Akademik”, diharapkan akan muncul pemahaman yang lebih mendalam tentang isu yang kompleks ini, serta bagaimana jabatan akademik mempengaruhi masa depan dunia pendidikan di Indonesia.
Gelaran Suluk Senen Pahingan Edisi 30 akan dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Juli 2024, bertempat di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Kota Semarang.
Penghormatan Terhadap Jabatan Akademik
Dalam konteks budaya Indonesia, jabatan profesor tidak hanya dilihat sebagai pencapaian akademik tertinggi, tetapi juga sebagai simbol kehormatan dan otoritas yang mendalam.
Sejarah penghormatan terhadap jabatan akademik ini berakar pada nilai-nilai sosial yang mengutamakan pengetahuan, kebijaksanaan, dan peran penting dalam masyarakat.
Profesor dianggap sebagai penjaga ilmu pengetahuan dan pembimbing moral, sehingga mendapatkan tempat yang sangat dihormati dalam hierarki sosial.
Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, dari cara masyarakat berinteraksi dengan profesor hingga bagaimana media dan institusi mengakui kontribusi mereka.
Jabatan profesor membawa prestise yang tidak hanya terbatas di lingkungan akademik, tetapi juga meluas ke ranah publik, terlebih lagi para politisi turut ambil bagian.
Desakralisasi jabatan profesor, dalam hal ini, dapat memicu perubahan signifikan dalam cara masyarakat memandang dan menghormati jabatan akademik tersebut.
Desakralisasi ini, bila diimplementasikan, mungkin akan mengurangi aura otoritas yang selama ini melekat pada jabatan profesor.