PEKAN ini ada pernyataan dari pejabat negara, petinggi partai politik atau tepatnya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang tidak hanya kontroversial tetapi juga bisa berkonsekuensi pidana. Serius!
Bagi sebagian kalangan mungkin itu hanya lontaran emosional. Namun ungkapan Zulhasan, demikian Ketum Partai Amanat Nasional ini kerap disapa, bila dicermati sebagai penanda dalam kabinet atau dalam Pemerintahan Jokowi minim koordinasi atau salah membaca data. Atau justru datanya kacau?
Entah siapa yang benar atau siapa yang salah soal data stok kedelai Indonesia. Bila kedua lembaga dan pejabat pemerintah beda data, bisa salah satu benar atau dua-duanya salah.
Nah, dalam kasus kedelai ini Badan Pangan Nasional menyebut stok kedelai hanya cukup untuk satu pekan. Namun, Zulhasan kemudian menyanggahnya dengan menyebut stok kedelai justru cukup untuk tiga bulan ke depan.
Tidak sampai di situ, Zulhasan pun menuding yang menyebut bahwa stok kedelai hanya cukup untuk tujuh hari sebagai hoaks.
Pernyataan Zulhasan ini tidak bisa dianggap sebagai ungkapan biasa apalagi sebagai guyonan. Ini sebagai tuduhan serius. Karena siapa saja yang menyebarkan hoaks bisa dipidanakan.
Tentu, sekelas Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional I Gusti Astawa yang membuat marah Zulhasan, sungguh berisiko bila menyebut stok kedelai tinggal untuk sepekan. Begitu juga Zulhasan yang menyebut stok kedelai cukup untuk tiga bulan ke depan.
Siapa sebenarnya yang tengah menyebar hoaks? Baik Zulhasan atau Astawa tentu tak sekadar asbun (asal bunyi). Konsekuensi menyebar hoaks tak bisa dianggap enteng.
Dalam UU ITE Pasal 28 disebutkan bagi penyebar berita bohong atau hoaks ancaman hukumannya paling lama enam tahun atau denda paling banyak satu miliar.
Zulhasan juga berseberangan data tidak hanya dengan Badan Pangan Nasional tetapi juga dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Zulhasan menyebut cadangan beras menipis karena itu Bulog harus membeli beras petani dengan harga berapapun. Pernyataan Zulhasan itu merujuk pada rapat terbatas di Istana yang melibatkan Presiden Jokowi.
Namun, masih di lingkungan Istana Syahrul Yasin Limpo justru menyebut cadangan beras Indonesia aman sampai angkanya mencapai 10 juta ton. Lagi-lagi siapa yang benar soal data yang berkaitan dengan nasib perut bangsa Indonesia ini.
Kenapa sampai para pejabat yang ditugaskan untuk mengambil keputusan penting tersebut sampai bersilang data. Bagaimana Pemerintah dapat mengambil kebijakan yang presisi bila data saja tidak sama.
Percuma Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Perpres ini awalnya digadang-gadang sebagai terobosan pemerintah untuk mengatur tata kelola data dalam rangka mendukung pembangunan yang holistik.
Tapi, nyatanya?