TATA rencanaku kacau. Arah langkahku buyar tak bertujuan. Yang kuharapkan, datang pada waktu yang belum saatnya. Mita, kekasihku, meminta agar aku menikahinya sebelum tahun berganti. Aku jelas menginginkannya, tetapi aku belum siap secara materi.
“Apa kau benar-benar mencintaiku?” tanyanya melalui sambungan telepon, sebulan yang lalu, setelah aku tak kunjung memberikan kepastian kepadanya perihal rencana tanggal pernikahan kami.
“Ya, tentu saja aku mencintaimu,” jawabku, begitu saja.
“Lalu kenapa kau tak ingin menikahiku cepat-cepat?” selisiknya lagi, dengan nada sendu.
“Itu hanya masalah waktu,” tanggapku, kemudian kembali menuturkan alasanku, “Bersabarlah, sampai aku benar-benar siap secara materi. Kau tahu sendiri kalau kita butuh biaya untuk menikah, juga bekal hidup setelah kita berumah tangga.”
Ia lantas mengembuskan napas dengan keras dan panjang. “Jangan permasalahkan soal itu. Kan sudah kubilang kalau kita cukup menikah dengan pesta yang sederhana, kemudian hidup menumpang di rumah orang tuaku sementara waktu, sebelum kita bisa hidup secara mandiri. Mereka juga setuju dan tak mempemasalahkannya.”
Seketika, aku bungkam dan bingung untuk membalas.
“Kalau kau plin-plan begini sekian lama, aku khawatir kita malah akan terpisah. Kau tahu sendiri kalau orang tuaku tidak suka kalau kita terus berhubungan dalam ikatan yang tidak jelas. Mereka ingin kita segera menikah kalau kita memang ingin hidup bersama,” keluhnya lagi.
Aku makin kelimpungan untuk menanggapi.
Akhirnya, ia terdengar menangis. “Kau tahu, belakangan waktu, aku mendengar rencana orang tuaku untuk menjodohkanku dengan sepupu jauhku. Jika kau tak segera menikahiku sebelum tahun berganti, aku khawatir mereka benar-benar akan melakukannya.”
Atas informasi tersebut, aku jadi makin kalut. Tetapi itu tak juga membuatku sanggup untuk segera menikahinya. “Maaf, aku merasa belum siap untuk menikahimu dalam waktu dekat. Tolong, beri aku waktu. Biarlah kita menikah awal-awal tahun depan. Molor sedikit, kurasa tidak masalah.”
“Tetapi orang tuaku sudah memintaku untuk menagih kepastian agar kau lekas menikahiku tahun ini,” tuntutnya, tegas.
Lagi-lagi, aku bingung sendiri. “Tetapi… “
“Sudahlah! Sudah!” potongnya, dengan suara yang penuh emosi. “Pokoknya, kau harus menikahiku sebelum tahun berganti, atau kita tidak akan pernah hidup bersama,” pungkasnya, kemudian memutuskan sambungan telepon.
Akhirnya, hari demi hari, aku terus memusingkan perihal tuntutan kekasihku itu. Meski aku benar-benar ingin menikahinya, tetapi aku tak akan melakukannya kalau aku merasa belum mampu untuk menanggung kehidupannya. Aku tak ingin membebani siapa-siapa atas rumah tangga kami nantinya, dan aku tak sanggup kehilangan muka sebagai kepala keluarga.
Tentu aku akan menikahinya sesegera mungkin setelah aku mapan secara ekonomi. Aku tak akan menunda-nunda waktu kalau demikian. Karena itu, aku terus berusaha untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Aku telah melamar beberapa pekerjaan pada instansi negeri atau swasta dengan bekal ijazah sarjana yang kuperoleh tiga tahun lalu. Tetapi sayang, semuanya gagal.
Tak patah arang untuk memperoleh kemapanan dami menikah, aku lantas berwirausaha dengan membuka warung kopi bersama dua orang temanku. Tetapi baru setahun, kami harus menutupnya. Itu karena jumlah pengunjung makin menurun, dan kami khawatir jika pendapatan kami tak lagi bisa menutupi sewa bangunan tempat usaha kami kalau berkeras melanjutkannya.
Setelah semua kegagalan itu, aku tentu masih tak berputus asa untuk mendapatkan penghidupan yang menjamin sebagai modal pernikahan. Bagaimanapun, nasib rezeki yang baik akan datang juga kepadaku selama aku terus berupaya. Karena itu, aku yakin kalau tahun depan, aku akan mendapatkan pekerjaan yang baik, untuk kemudian menikahi kekasihku.