Tetapi aku memang selalu bisa memaafkannya. Aku merasa tak mampu mencampakkannya. Hingga akhirnya, dua bulan yang lalu, ia kembali ke sisiku seusai meminta maaf dengan berurai air mata, setelah ia memutuskan hibungannya dengan seorang lelaki. Bahkan dengan penuh kesungguhan, ia mulai memintaku untuk menikahinya secepat mungkin.
Dan akhirnya, waktu sampai di malam tahun baru ini. Aku pun merenungi nyaris setahun yang seolah tak berarti bagiku. Hari-hari berlalu, dan aku masih begini. Terus merangkai angan-angan yang indah tentang masa depan. Terus mengharapkan penghidupan yang baik demi menikahi kekasihku. Tetapi itu tak juga menjadi kenyataan.
Dari balik jendela kamar kos-kosanku, dengan penuh kepiluan, aku lantas memandang-mandangi kembang api yang mulai bermekaran di udara. Aku pun merasa iri kepada orang-orang yang merayakan kesenangannya atas apa yang telah mereka capai di tahun ini. Karena itu, untuk tahun depan, aku menggenggam harapan yang besar, semoga aku segera mendapatkan pekerjaan yang menjamin, agar aku lekas menikahi kekasihku.
Sampai akhirnya, kurang dari dua jam menjelang pergantian tahun, tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah nomor yang belum tersimpan di daftar kontakku sedang memanggil. Aku pun menjawabnya dengan rasa penasaran.
“Halo?” sapaku.
“He, kau di mana?” tanya seorang lelaki di ujung telepon dengan suara yang keras.
“Ini siapa?” tanyaku, tanpa menjawab pertanyaannya.
“Aku ayahnya Mita,” jawab sang lelaki.
Seketika, aku menjadi segan. “Aku sedang di kos-kosanku, Om. Ada apa?”
“Mita masuk rumah sakit,” tuturnya.
Aku pun jadi cemas. “Dia sakit apa, Om?”
“Ia mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun,” terangnya, tegas.
Sontak, aku terkejut hebat. “Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Ah, jangan banyak tanya,” sergahnya, terdengar kesal. “Sekarang, kau ke Rumah Sakit Amanah. Kau harus bertanggung jawab atas keadaannya, juga atas keadaan bakal anakmu yang tengah dikandungnya.”
Tak pelak, aku terperenyak. Aku sungguh tak habis pikir. Bagaimanapun, aku tak pernah melakukan hubungan yang lebih dari sewajarnya dengan kekasihku itu. “Tetapi Om…”
“Ah, jangan banyak bicara. Sekarang kau kesini. Cepat!” titahnya, lantas menutup sambungan telepon.
Akhirnya, aku kelimpungan dengan sangkaan-sangkaan yang mulai menjurus pada satu kesimpulan perihal alasan kekasihku terus mendesakku untuk segera menikahinya.***
Ramli Lahaping, kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).