Scroll untuk baca artikel
ragam

Sejarah dan Asal Mula Nama Kota Semarang

Redaksi
×

Sejarah dan Asal Mula Nama Kota Semarang

Sebarkan artikel ini
sejarah semarang
Gereja Blenduk/Foto: Pexels.com/Haidar S Naufal

Semarang telah berganti-ganti penguasa sejak dari dinasti Syailendra (Mataram Kuno), ke dinasti Raden Patah (Demak), berlanjut kepada Sultan Hadiwijoyo (Pajang) dan Sutawijoyo

BARISAN.CO – Semarang telah terpetakan dalam sejarah sekurang-kurangnya pada abad ke 7 Masehi, yakni sebagai sebuah pelabuhan yang berada di bawah dinasti Syailendra. Dari kerajaan Mataram Kuno (dari era kerajaan Hindu-Budha) dibawah Wangsa Sanjaya, yang berkuasa di (tengah) pulau Jawa pada tahun 752 M (Vlekke, 1943 ; 28).

Fungsi Semarang atau Samarang pada era tersebut adalah sebagai sebuah pelabuhan atau bandar. Yakni ketika Syailendra diperintah oleh Rakai Pikatan menjadikan Pragota atau Bergota untuk berhubungan dengan negeri lain melalui lautan. Misalnya dengan kerajaan Sriwijaya yang terletak di pulau Sumatra (Budiman, 1978;3).

Menurut Kholik (2010;3), letak kerajaan Syailendra diperkirakan di sekitar wilayah Gunung Dieng atau kira-kira disekitar kota Wonosobo sekarang. Pada waktu itu nama Semarang belum ada, namun keadaan fisiknya digambarkan sebagai hamparan pantai yang landai, membujur sepanjang kaki pegunungan Ungaran, dimana berlangsung persentuhan antara air laut dengan perbukitan.

Menurut van Bemmelen dalam Amen Budiman (1978), pantai yang landai itu berjajar-jajar sepanjang kaki gunung Ungaran, mulai dari barat sampai ke timur (Mangkang, Ngaliyan, Gisikdrono, Simongan, Gajahmungkur, Labuapi, Jurangsuru, Wotgalih, sampai daerah Kedungmundu.

Antara bukit – bukit dalam wilayah itu dan laut Jawa mengalir sungai Kaligarang, sungai yang mempertemukan arus kali Kripik dan kali Kreo yang ketiganya berhulu di gunung Ungaran.

Sungai ini menjadi jalan bagi kapal-kapal yang akan berlabuh ke bandar lama kerajaan Syailendra atau Bandar Semarang yang ketika itu terletak di Simongan, sisi lain dari bukit Pragota atau Bergota. Perlu diketahui bahwa pada masa itu kedua bukit ini belum terpisah, masih terhubung oleh laut Jawa.

Bagaimana perkembangan wilayah (bandar) Semarang sesudah itu tidak banyak diketahui, namun keberadaannya disebut-sebut kembali sesudah munculnya kerajaan Demak (abad ke 15), yang menggantikan posisi Majapahit sebagai penguasa bandar Semarang.

Demak melanjutkan tradisi Majapahit sebagai kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor maritim dan perdagangan.

Sebagaimana disebutkan dalam berbagai sumber, pendiri kerajaan Demak yakni Raden Patah adalah putra dari raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya ke 5. Dibawah Raden Patah, Demak berkembang menjadi kerajaan Islam yang besar, seiring masuknya Islam di Nusantara.

Demak bahkan menjadi pusat berlangsungnya tradisi Islam yang dipimpin oleh Walisanga. Dalam sejarahnya, kerajaan Demak dua kali menyerang VOC atau Belanda di Batavia dipimpin panglimanya Fatahillah atau Faletehan, yakni ketika Demak berada dibawah pemerintahan Sultan Trenggono.

Namun setelah Sultan Trenggono wafat dan menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Prawoto, terjadilah konflik dalam lingkup kerajaan yang dipicu oleh Bupati Jipang Ario Penangsang. Penangsang membakar habis kerajaan ini sehingga tidak tersisa sama sekali. Pusat pemerintahan Demak berpindah ke Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo (Graaf, 1986; 26).

Ario Penangsang akhirnya tewas ditangan Mas Karebet atau Sutawijaya, putra angkat Sultan Hadiwijoyo dari kerajaan Demak. Kelak, dengan hadiah dari Sultan Hadiwijoyo, Sutowijoyo (yang kemudian bergelar Panembahan Senapati alias Sultan Agung) merubah Alas Mentaok – tanah perdikan yang diterimanya sebagai hadiah – menjadi cikalbakal berdirinya kerajaan Mataram.

Dengan demikian Semarang telah berganti-ganti penguasa sejak dari dinasti Syailendra (Mataram Kuno), ke dinasti Raden Patah (Demak), berlanjut kepada Sultan Hadiwijoyo (Pajang) dan Sutawijoyo atau Panembahan Senopati atau Sultan Agung (Mataram).