Scroll untuk baca artikel
Blog

Sejarah di Balik Pembangunan Museum Bung Karno Blitar

Redaksi
×

Sejarah di Balik Pembangunan Museum Bung Karno Blitar

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Tidak banyak hal menarik terjadi di Blitar. Kota ini seperti berwajah datar dengan hiruk-pikuk seadanya. Masuk akal bila kota ini banyak disenangi pensiunan yang rindu kedamaian seperti, salah satunya, mantan Wakil Presiden Boediono.

Namun di balik nuansanya yang sepi, Blitar tetap punya geliat. Kota ini tidak hanya hidup dari uang yang dibelanjakan antarwarganya sendiri, tetapi juga ribuan peziarah dari luar kota yang tiap hari datang menengok makam Bung Karno.

Blitar bahkan pelahan mencoba meninggalkan karakter kota kecil nan sepi dengan mulai menyebut diri sebagai kota “Dapur Nasionalisme” Indonesia. Hal itu telah dimulai sejak 4 Juli 2004, saat diresmikannya Perpustakaan & Museum Bung Karno yang dibangun tak jauh dari makam Sang Proklamator.

Kalau ditelisik, sebetulnya ide membangun Museum Bung Karno sudah ada jauh sebelum itu. Setidaknya dalam laporan Majalah Tempo tahun 1990, Rais Am PBNU pada saat itu KH. Jusuf Hasjim tercatat pernah melontarkan gagasan demikian.

“Taruh saja benda-benda milik Bung Karno yang sederhana, agar generasi muda dapat becermin pada kesederhanaan Bung Karno. Percuma, generasi sekarang dinasihati tapi tanpa contoh,” ujar KH. Jusuf Hasjim dalam ceramahnya di acara peringatan meninggalnya Bung Karno yang ke-20 di Blitar, (21/06/1990).

Gagasan itu baru serius digarap 10 tahun kemudian, saat Djarot Saiful Hidayat menjadi Walikota Blitar, medio 2000-2005. Pada saat itu, warga Blitar, akademisi, para pengagum Bung Karno, dan banyak pihak lain menyambut baik dibukanya rencana pembangunan museum, termasuk: Pamoe Rahardjo.

Pamoe Rahardjo adalah ajudan Bung Karno selama periode 1946-1948. Ia salah satu perwira Pembela Tanah Air (PETA) yang berperan membatalkan kudeta 3 Juli 1946 yang dilakukan pihak oposisi yang ingin agar Presiden Soekarno mengubah kabinet.

Saat Pamoe mendengar rencana pembangunan museum Bung Karno, seketika ia langsung menghibahkan tanahnya seluas 4.000 meter persegi, yang terletak tepat di samping kompleks makam Bung Karno, yang dahulu ia beli sepetak demi sepetak untuk tujuan yang sama.

Bak gayung bersambut bagi Pamoe. Ia kemudian memercayakan tanahnya yang berukuran setengah lapangan bola itu sepenuhnya kepada pemerintah kota Blitar, untuk kepentingan bangsa.

Proses Pembangunan

Peletakan batu pertama pembangunan museum ini dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2003. Pada tahap rancangan awal, desain museum dan perpustakaan ini diserahkan kepada dua arsitek ITB, Pribadi Widodo dan Baskoro Tedjo.

Djarot Saiful Hidayat dalam pengantar buku Perpustakaan Kepresidenan Bung Karno (2010) menyebut, dipilihnya arsitek ITB merupakan hasil pertimbangan kesejarahan (Bung karno adalah alumni pertama dan mendapatkan Doctor Honoris Causa di sana), dan pertimbangan kepakaran (ITB mempunyai arsitek berkualitas dan dianggap mampu merancang perpustakaan kepresidenan yang berwawasan lingkungan).

Laporan Tempo edisi 20 April 2003 mencatat, proyek museum ini mengambil dana APBN sejumlah Rp4,5 miliar, dan APBD Jawa Timur sejumlah Rp1,5 miliar. Pelaksana pembangunan diserahkan PT Adhikarya dan diselesaikan dalam waktu 10 bulan, sebelum akhirnya diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Keberadaan Museum dan Perpustakaan Bung Karno ini tentu saja penting bagi Indonesia. Sebagai representasi dari “museum kepresidenan”, museum ini dapat disejajarkan dengan The John F. Kennedy Presidential Library and Museum di Boston, atau Ho Chi Minh Museum di Hanoi.

Namun, jelas yang lebih berat daripada membangun infrastruktur gedung adalah merawat dan terus melengkapi isinya.