Di masa penjajahan, perempuan Belanda yang tinggal di tanah air pun kerap mengenakan kebaya dalam agenda resmi. Mereka menjadikan pakaian ini sebagai identitas kasta. Mengikuti para perempuan kraton yang di masa itu memiliki derajat sosial lebih tinggi dibanding masyarakat biasa.
Setelah penjajahan Belanda, kebaya mengambil peran baru sebagai pakaian formal bagi perempuan Eropa di negara tersebut. Selama ini, kebaya sebagian besar dibuat dari kain mori. Modifikasi yang dilakukan pada kostum tradisional ini kemudian memperkenalkan penggunaan sutra dan bordir untuk menambah desain dan warna.
Bentuk paling dominan dari kebaya yang dikenakan di pulau Jawa dan Bali saat ini, dapat dilihat dari kebaya yang dikenakan di Jawa dan Sunda dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dan seterusnya.
Jadi Busana Nasional
Pada tahun 1920-an, seiring dengan kemunculan perjuangan nasionalis di Indonesia, perempuan Eropa berhenti mengenakan kebaya. Karena pakaian ini mulai diidentikkan dengan pakaian khas Indonesia. Bagi penjajah Eropa, Kebaya telah dikaitkan dengan nasionalisme Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945), para tawanan perang perempuan Indonesia yang berpendidikan memilih untuk mengenakan kain dan kebaya daripada pakaian barat yang dialokasikan untuk mereka sebagai pakaian penjara.
Seperangkat kondisi politik yang berbeda menghasilkan pembalikan makna. Dalam situasi ini para perempuan menggunakan kode budaya (pakaian tradisional) untuk menegaskan posisi politik mereka, yang membedakan diri mereka dari perempuan Eropa mereka yang juga tawanan perang.
Pada Proklamasi Kemerdekaan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945, satu-satunya perempuan yang hadir, Ibu Trimutri mengenakan kain dan kebaya. Citra ini membantu mengubah kebaya dari sekedar pakaian tradisional, mengangkatnya menjadi status pakaian nasional bagi perempuan Indonesia. [rif]