Scroll untuk baca artikel
Blog

Sejarah Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa di Indonesia

Redaksi
×

Sejarah Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Penyebaran informasi dalam tindak kejahatan berbahasa berpotensi menimbulkan kegaduhan, keonaran, dan kebencian dimana-mana.

BARISAN.CO – Istilah, Linguistik Forensik pertama kali diciptakan oleh ahli bahasa Swedia Jan Svartvik pada tahun 1968 dalam studi kasusnya, “The Evans Statements: A case for Forensic Linguistics“. Dalam penelitian ini Svartvik menganalisis beberapa transkrip wawancara Timothy John Evans dengan polisi atas pembunuhan istri dan bayi perempuannya pada tahun 1949. Svartvik menunjukkan, ada sejumlah perbedaan gaya antara pernyataan dan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepenulisan mereka.

Berdasarkan penelitian ini dan fakta lainnya, pengadilan telah salah tuduh. Sayangnya, Evans sudah dieksekusi pada tahun 1950. Namun, berkat kerja Svartvik, belasan tahun kemudian, Evans secara resmi diampuni dan namanya dibersihkan.

Karya Svartvik hari ini dianggap sebagai salah satu kasus besar pertama di mana Linguistik Forensik digunakan untuk mencapai keadilan di pengadilan. Saat ini, Linguistik Forensik adalah bidang studi independen yang mapan dan diakui secara internasional.

Mengutip Hypotheses, salah satu tujuan utama Linguistik Forensik adalah untuk memberikan analisis bahasa yang cermat dan sistematis. Hasil analisis ini dapat digunakan oleh banyak profesional yang berbeda. Misalnya, petugas polisi dapat menggunakan bukti ini tidak hanya untuk mewawancarai saksi dan tersangka secara lebih efektif, tetapi juga untuk menyelesaikan kejahatan dengan lebih andal.

Pengacara, hakim, dan anggota juri dapat menggunakan analisis ini untuk membantu mengevaluasi pertanyaan bersalah dan tidak bersalah secara lebih adil. Sedangkan, penerjemah dan juru bahasa dapat menggunakan penelitian ini untuk berkomunikasi dengan lebih akurat. Linguistik Forensik melayani keadilan dan membantu orang untuk menemukan kebenaran ketika kejahatan telah dilakukan.

Umumnya, Linguistik Forensik biasanya dibagi menjadi dua bidang utama dengan banyak sub-cabang yang berbeda.

Pertama, bahasa tertulis. Misalnya, (1) bahasa yang digunakan dalam hukum regional, nasional, dan internasional, saat ini dan di masa lalu; transkrip wawancara polisi dengan saksi dan tersangka; pesan kriminal yang digunakan dalam kasus ancaman teroris, bunuh diri, penculikan, pemerasan, dan lainnya, (2) penerjemahan dokumen hukum dari satu bahasa ke bahasa lain; dan (3) pemeriksaan bahan teks untuk menjawab pertanyaan tentang siapa yang mungkin atau mungkin bukan penulis. Bahasa tertulis yang diperiksa oleh Ahli Linguistik Forensik dapat dalam berbagai bentuk: pesan telepon, catatan, surat tulisan tangan, posting di media sosial, dan lain-lain.

Kedua adalah bahasa lisan. Yakni, bahasa yang digunakan oleh penerjemah selama wawancara resmi dengan saksi, tersangka, dan korban; bahasa yang digunakan oleh pelaku atau korban selama kejahatan. Fokus area ini bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi bagaimana dikatakan.

Ahli bahasa yang terutama menyelidiki bahasa tertulis melihat fitur-fitur seperti ejaan, konstruksi kalimat, pilihan kata, dan tanda baca, dll. Sebagai perbandingan, ahli bahasa yang terutama meneliti bahasa lisan fokus pada aksen, dialek, pengucapan, nada suara, kecepatan dan ritme bahasa, pidato, dan sebagainya.

Seperti namanya, sebagian besar ahli yang bekerja dalam Linguistik Forensik memiliki gelar dalam linguistik, studi bahasa. Namun, banyak dari Ahli Linguistik Forensik juga memiliki gelar atau pelatihan lanjutan di bidang akademik lain seperti Hukum, Psikologi, Sosiologi, Ilmu Komputasi dan Kriminologi.

Kejahatan Berbahasa di Indonesia

Dalam buku Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa karya Dr. Endang Sholihatin dijelaskan, kejahatan berbahasa diantaranya adalah ajakan/hasutan, konspirasi, sumpah palsu, ancaman, dan penyuapan. Kejahatan berbahasa tidak menyakiti fisik, namun psikis bagi orang yang diserang atau disakiti.