Kedua adalah bahasa lisan. Yakni, bahasa yang digunakan oleh penerjemah selama wawancara resmi dengan saksi, tersangka, dan korban; bahasa yang digunakan oleh pelaku atau korban selama kejahatan. Fokus area ini bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi bagaimana dikatakan.
Ahli bahasa yang terutama menyelidiki bahasa tertulis melihat fitur-fitur seperti ejaan, konstruksi kalimat, pilihan kata, dan tanda baca, dll. Sebagai perbandingan, ahli bahasa yang terutama meneliti bahasa lisan fokus pada aksen, dialek, pengucapan, nada suara, kecepatan dan ritme bahasa, pidato, dan sebagainya.
Seperti namanya, sebagian besar ahli yang bekerja dalam Linguistik Forensik memiliki gelar dalam linguistik, studi bahasa. Namun, banyak dari Ahli Linguistik Forensik juga memiliki gelar atau pelatihan lanjutan di bidang akademik lain seperti Hukum, Psikologi, Sosiologi, Ilmu Komputasi dan Kriminologi.
Kejahatan Berbahasa di Indonesia
Dalam buku Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa karya Dr. Endang Sholihatin dijelaskan, kejahatan berbahasa diantaranya adalah ajakan/hasutan, konspirasi, sumpah palsu, ancaman, dan penyuapan. Kejahatan berbahasa tidak menyakiti fisik, namun psikis bagi orang yang diserang atau disakiti.
Selanjutnya, ada juga kejahatan berbahasa berupa defamasi, yaitu pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan/penistaan. Dalam aksinya, pelaku sengaja menyerang harga diri, nama baik, atau kehormatan seseorang di muka umum untuk mencederai reputasi korban.
Di era digital saat ini, defamasi sering kali terjadi. Kejahatan berbahasa di media sosial bahkan ibarat pembunuhan massal. Alasannya, kejahatan berbahasa seperti ujaran kebencian, berita bohong, pencemaran nama baik, dan fitnah yang disebarkan melui media sosial akan mengakibatkan jumlah korban yang tak terhingga Itu dikarenakan, kejahatan berbahasa mudah menyebar hingga ke seluruh dunia.
Penyebaran informasi dalam tindak kejahatan berbahasa berpotensi menimbulkan kegaduhan, keonaran, dan kebencian dimana-mana. Jika seseorang terhanyut didalamnya, maka dia dapat membenci korban. Ketika seseorang itu membenci, hati dan pikirannya dipenuhi amarah kebencian dan bahkan turut menuturkan kebencian tersebut. Oleh sebab itu, seseorang yang hati, pikiran, dan tuturnya penuh dengan kebencian, maka perlu memeriksakan kesehatan jiwanya.
Di Indonesia, contoh kasusnya adalah buzzer. Mereka bahkan tak segan-segan membunuh karakter orang lain. Selain itu, mereka sengaja melakukannya untuk provokasi atau propaganda.
Seperti diketahui, kemarahan lebih mudah viral di media sosial. Dengan rendahnya literasi digital di Indonesia, masyarakat mudah sekali terpancing bahkan memercayai ujaran kebencian, fitnah, dan serangan dari para buzzer ini.