BARISAN.CO – Didik J Rachbini dalam pengantarnya menyampaikan dampak pandemi Covid-19 di dalam negeri yang paling kentara terdampak serta agak kacau adalah sektor fiskal. Terjadi proses pengambilan keputusan yang tidak menentu.
Didik menambahkan ada semacam “Politik Perbanditan” karena semula pada 2020 direncanakan obligasi sejumlah Rp650 triliun untuk membayar pokok dan bunga utang serta operasi pembangunan.
“Lalu ketika terjadi pandemi tiba-tiba anggaran diubah menjadi Rp1220 triliun. Namun realisasinya sekarang menjadi Rp1500 triliun. Kiranya hal itu menjadi cukup berat bagi presiden mendatang,” imbuhnya dalam Diskusi Twitter Space Forum Ekonomi Politik dengan tema Pandemi dan Kebijakan Pemerintah : Evaluasi 2021, Rabu (24/11/2021).
Meski demikian menurut Didik, kita harus bersyukur karena Covid-19 cukup terkendali di tengah babak belurnya sektor yang lain seperti sektor retail, sektor riil, UMKM dan lain-lain.
“Sementara retail perlahan sudah bertransfomasi ke e-commerce,” terangnya.
Ekonom senior Bayu Krisnamurti mengatakan ketika Covid-19 datang sebenarnya tidak ada negara yang siap menghadapinya, bagaimana mengatasinya, dan tidak tahu juga ke arah mana evolusi atau perkembangan dari wabah mematikan tersebut.
“Tetapi setelah berjalan hampir dua tahun, telah bisa dibuat potret atau gambaran tentang apa yang terjadi jika dilihat dari berbagai perspektif. Namun betul, semua itu erat kaitannya dengan kebijakan atau respon pemerintah,” lanjutnya.
Sementara itu soal tranformasi ke e-commerce, Bayu menyampaikan pertumbuhan e-commerce UMKM di Indonesia setelah kejatuhan akibat Covid-19, hanya tumbuh 15-18 persen saja.
“Selain itu khusus masalah pendidikan nasional yang terdampak Covid, setuju diadakan diskusi khusus masalah tersebut. Apalagi terkait bonus demografi yang terancam mubazir,” jelasnya.
Sektor UMKM Kebal Krisis
Dosen Paramadina A. Khoirul Umam mengatakan struktur belanja pemerintah, pada 2021 ketika dampak Covid-19 begitu merusak ke segala sektor.
Menurut Khoirul di tengah keberhasilan meredam gejolak dampak Covid-19 ketimbang kerusuhan yang kini terjadi di Eropa, sejumlah masalah tetap belum terselesaikan.
“Contohnya adalah masih tidak nyambungnya leadership dengan followership, banyaknya kepala daerah yang cenderung memanipulasi data korban wabah demi prestise agar terbebas dari tekanan politik, masih terjadi di level daerah,” lanjutnya.
Hal itu adalah konteks kebijakan yang tidak didasarkan pada orientasi kebijakan itu sendiri. Tetapi menggunakan paradigma “politics base policy” atau kebijakan yang lebih menitik beratkan pada kalkulasi kepentingan politik.
“Sehingga konteks problem solving dan public delivery service kurang nyambung. Hal itu perlu menjadi catatan agar ancaman gelombang ke 3 dapat diminimalisir,” tutur Khoirul
Begitu juga terjadi hal serius, Khoirul mengatakan kejatuhan sektor UMKM setelah terkena dampak covid 19. Sektor UMKM yang kebal dari dua kali krisis pada 1998 dan 2008 dan menyumbang 90% tenaga kerja serta 67 % an persen PDB, terjadi penurunan sisi permintaan secara drastis akibat melemahnya daya beli masyarakat.
“Implikasinya juga terjadi pada supply chain pasokan barang dan juga sumber modal usaha,” ucapnya.
Khoirul berharap perlunya transparansi, akuntabilitas dan ketepatan kebijakan terutama terkait konteks dana PEN (Penyelamatan ekonomi nasional) dan bansos yang seharusnya tepat sasaran untuk menyelamatkan denyut ekonomi rakyat.
“Perlu juga dilakukan pendampingan masif terkait teknologi digital atau marketing, dan hal-hal teknis lain seperti packaging, kualitas produk dan yang lain-lain,” imbuhnya.