BARISAN.CO – Judul selayang pesan penghambaan diambil dari buku antologi 129 puisi Islami salah satu penggarangnya yakni Nimas Kinanthi.
Sungguh beruntung masih memiliki Tuhan, sehingga seorang hamba bisa menitip pesan maupun saling berpesan salam. Asyik rasanya jika membincangkan Tuhan, sebab di dunia intelektual Barat diskursus tentang Tuhan memang lagi gemar-gemarnya. Maka segala bentuk ijtihad digunakan, terutama aspek rasionalis dan empirisme Tuhan.
Bahkan bapak filsafat Modern Rene Descartes hanya percaya Tuhan filsafat dari pada Tuhan teolog. Tentu jika ia percaya Tuhan teolog, maka konsekuensinya Desacartes harus mengakui trinitas Yesus. Bahkan Newton sendiri mengatakan tentang doktrin trinitas, bahwa trinitas telah merusak agama murni Yesus.
Lain lagi dengan golongan Rasionalis Empiris, bagi Hegel Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar. Begitu juga Sigmund Freud mengatakan, Tuhan telah menjadi candu. Maka akhirnya Tuhan itu harus dibunuh, kata Nietzche. Filosof Voltaire juga ikut-ikutan angkat bicara, ia tidak setuju kalau Tuhan di bunuh. Tuhan itu harus ada, seandainya Tuhan tidak ada kita wajib menciptakannya, katanya.
Bagaimana dengan selayang pandang, ini seperti J.P. Sartre seorang filosof eksistensialis, ia mencoba menetralisir uangkapan Nietzche dan Voltaire. Ia mengatakan, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. Lebih lanjut ia mengatakan, Bahwa Tuhan teleh berbicara kepada kita, tapi kita diam.
Pandangan Sartre dikritik Martin Buber seorang teolog Yahudi. Tuhan tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa.
Ini hanya sedikit gambaran tentang manusia berpikir tentang tuhannya. Setidaknya masihlah beruntung orang yang memiliki Tuhan, maka ia bisa memberikan selayang pesan penghambaan.
Seperti Sartre, Tuhan tidak bersama manusia. Sungguh menyesal diri kita jika Tuhan saja tidak berada diantar kita, bahkan jika ia menghindar. Bisa jadi benara apa yang dikatakan Buber, memang manusia mendengar. Tuhan telah mengutus hamba terbaiknya untuk menyampaikan kepada umatnya untuk kembali kepada-Nya.
Sehingga kita hari ini masih, bisa berkirim salam dengan Tuhan. Selayang pesan penghambaan ini, menjadikan kita sadar bahwa diri kita adalah makhluk yang lemah. Jika kita kuatpun, di hadapan-Nya harus mengakui diri penuh dengan kelemahan, oleh sebab kebesaran dan rahmat-Nya.
Maka dengan kelemahan itu kita mengeskspresikan diri dengan kembali kepada-Nya yakni dengan memohon (doa).
Baik itu keluhan, rasa tidak suka, ketidak mampuan ataupun ketidaksangupan. Yang semuanya itu menandakan kita tidak bisa atau bahkan sebenarnya kita bisa namun kita berusaha memohon, karena kita menyadari diri sebagai makhluk yang lemah.
Para filosof baik kaum rasionalis dan empiris berusaha mengagungkan akalnya. Sehingga mereka tidak membutuhkan Tuhan. Lain dengan diri kita yang lebih cenderung mengagungkan irfan (hati). Dalam hadis riwayat Ahmad, perumpamaan hati adalah seperti sehelai bulu di akar pohon, yang terus-menerus digoyahkan oleh angin.
Sehingga diri ini, selalu dalam kegundahan dan ketidakbisaan menerima realitas yang menimpa. Oleh sebab itu, kita sering diajarkan untuk memeriksa hati dengan berbagai jalan seperti berzikir atau menyebut asma-Nya, bermunajat ataupun bermuhasabah.
Hal ini dilakukan, supaya hati tidak memiliki penyakit. Jika penyakit itu tetap dibiarkan tentu saja akan banyak berbuat yang tidak diinginkan seperti mudah untuk melakukan perbuatan dosa, berperilaku kasar, lemah dalam menjalankan ibadah ataupun cepat mudah marah.