Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Senja Kala Andalusia

Redaksi
×

Senja Kala Andalusia

Sebarkan artikel ini

DI KORDOBA, 1198, Ibnu Rusyd, ulama-cum-dokter yang di Barat dikenal sebagai Averoes dan dianggap tokoh filsuf rasionalisme, mengembuskan nafas penghabisan dalam kondisi mengenaskan.

Jabatannya sebagai hakim negara dicopot. Banyak karyanya dibakar. Ajaran filsafatnya menjadi barang haram. Ramalannya mulai menuju kebenaran bahwa masa depan negaranya takkan ramah untuk orang-orang yang tercerahkan seperti dirinya.

Di tempat yang sama dan waktu hampir bersamaan, dokter, juru tulis, dan filsuf Yahudi Musa Ibn Maymun atau Maimonides harus angkat kaki dari kampung halamannya. Ia yang semula dimuliakan menjadi orang terbuang. Kordoba, yang dikuasai kerajaan-kerajaan Islam kecil dan saling berperang, mulai menutup pintu bagi kaum Yahudi.

Bahkan ketika berkuasa, kalangan Muwahidun membantai ribuan orang Yahudi. Maimonides dan keluarganya pindah ke Mesir. Di sana ia mendapatkan tempat terhormat dengan menjadi dokter sekaligus penasihat pribadi Salahuddin al-Ayubi, kelak dikenal sebagai penakluk Yerusalem, hingga meninggal dunia pada 1204.

Seiring kematian dua filsuf besar itu, Kordoba, salah satu kota maju di Andalusia, tempat yang pernah menelurkan peradaban tinggi yang dikenal dengan Peradaban Andalusia, perlahan masuk liang lahat sejarah.

Padahal, dua abad sebelumnya, tepatnya pada abad ke-9, Kordoba merupakan prototipe modernitas.

Dari jendela istananya yang megah, Hisyam dan putra sekaligus penggantinya, al-Hakam I, menyaksikan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.

Puncak Keemasan

Dan yang mengagumkan dari sejarah Andalusia, tiga agama besar: Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh toleransi—atau dalam bahasa Spanyol disebut Convivencia.

Kebijakan ini lahir dari tangan Abdurahman I, seorang pemimpin karismatik yang fasih bicara ihwal agama dan budaya di mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit puisi dan membacakannya di depan publik. Selain menerbitkan harmoni sosial, kebijakan ini memberi kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi pejabat negara.

Penerusnya, Abdurahman III, menjaga kebijakan ini dengan mengangkat Hasdai Ibn Shaprut, seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup Katolik Elvira, sebagai duta besar Kordoba untuk Konstantinopel.

Pengadaptasian teknologi pembuatan kertas, yang didapatkan dari peradaban Tiongkok, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Perpustakaan-perpustakaan di Kordoba dipenuhi buku-buku berharga. Dari segi penyebaran ilmu pengetahuan Kordoba hampir menyamai Baitul Hikmah di Baghdad, think thank pemerintahan Abbasiyah di Timur Tengah.