Tidak terbaca arah yang jelas dari ucapan Menteri Siti Nurbaya. Ia menyebutkan semua hal tetapi tidak menjelaskan alasan mengapa target penurunan emisi Indonesia masih terpaku pada angka-angka lama, yakni penurunan emisi 29-41 persen sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris tahun 2016 lalu.
Pembelaan yang agak lincah datang dari bawahan Siti di KLHK. Ialah Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Laksmi Dhewanthi, yang mengatakan bahwa, “Hal terpenting bukanlah menaikkan target persentase jumlah penurunan emisi, melainkan upaya atau ambisi dalam memastikan target tersebut tercapai,” sebagaimana dikutip dari Kompas.
Pemerintah berkeras bahwa target penurunan emisi yang ada sejauh ini sudah realistis. Namun secara implisit, bisa dibaca bahwa ‘realistis’ dalam hal ini berkelindan dengan masih kuatnya kepentingan terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik.
Alih-alih semisal mengelaborasi energi terbarukan, energi kotor batu bara justru diberi stimulus yang cukup baik oleh pemerintah. Sebut saja di dalam UU Cipta Kerja, yang salah satu pasalnya menyebutkan royalti untuk batu bara yang dapat diberikan sebesar nol persen—kita tidak bisa menemukan kalimat semacam itu yang diberikan kepada energi terbarukan.
Alhasil, tidak ada akselerasi penggunaan energi baru yang cepat dan selaras dengan visi ramah lingkungan. Dalam konteks ini, target memperkecil ketergantungan terhadap batu bara dalam bauran energi pun masih jauh dari sasaran.
Padahal dunia sudah menunjukkan gejala-gejala nyata perubahan iklim. Energi bersih diperlukan, pengelolaan ekonomi yang ramah lingkungan diperlukan, aksi nyata diperlukan, dan semua bentuk implementasi strategi yang jelas diperlukan.
Pada COP26 nanti, Pemerintah harus membuktikan bahwa komitmen yang sudah diucapkan maupun dituliskannya bukanlah sama dengan menggantang angin. [dmr]