MALAM bersahabat angin mendayu merona membalut kulit yang tipis penuh luka. Suara itu seakan penuh tanda. Mata itu berkilau di tengah malam seperti ini, bisik-bisikan memiliki arti dalam bahasa arab adalah najwa. Najwa bukanlah sebuah nama seorang perempuan, namun hanya bahasa dalam kata. Tapi, di sinilah aku memandang bulan yang dihiasi panorama lazuardi yang tertutup awan pekat.
Pyaaarrr….pyaaarrr…pyaar,
Suara itu terdengar dari kejauhan, membisik telingaku. Sebuah benda berkaca yang aku lempar ke langit. Beberapa kali aku melempar benda-benda keras ke angkasa. Namun ia tidak bersua, atau bahkan mendekat kepadamu. Malahan ia semakin menjauh dariku.
Seteguk air hitam pekat menerobos rongga-rongga membasahi setiap perjalanannya. Bukan seperti burung yang terbang di pagi hari mencari nafkah dan pulang di waktu menjelang malam tanda perut kenyang. Namun perutku belum terisi satu butir beras, dari pagi hingga petang ini.
Pohon kelapa mulai memakai kaca mata hitam, pura-pura tidak melihat, hanya pohon mangga yang sudah mulai tumbuh kuncup bunga. Atau bahkan rumput-rumput liar yang menjadi alasku berbaring. Mereka hanya bisa mengerakkan bagian tubuhnya yang digerakkan oleh bantuan orang lain dan kadang teriring waktu tumbuh berkembang menjadi besar.
Aku sekarang ini sudah tumbuh menjadi seorang wanita dewasa, seperti mereka temanku dimalam ini. Dialah sahabat sejati di setiap gelap malamku, mereka teman curhatku yang tidak tahu pasti apakah mereka merasakan perih getir kehidupanku.
Ya…alam ini adalah sahabat yang tidak akan musna, jika para brandalan dengan pembawa pena tidak membrangus habis semesta bertasbih. Andai ia datang ke sini, membabat habis sahabat yang ada di depanku ini. Akulah orang pertama yang akan menghalangi. Akulah manusia peri kecil yang siap mati.
Walaupun itu berupa rumput yang menjadi alas tidurku, mereka bilang ia rumput liar yang menggangu. Namun bagiku ia adalah sahabat sejati, memberikan inspirasi pergolakan kedamaian hati. Dengan bertingkah si pembawa pena, seenaknya saja mencabutti dirimu, hai sahabat manisku.
Kau yang ada di gedung sana, dengan tarian pena engkau bisa mengesahkan apa saja untuk melanggengkan keinginanmu. Aku akui setiap manusia memiliki keinginan, apakah kau sadar bahwa aku juga memiliki keinginan. Apakah kau memiliki otak yang jernih, kebutuhanku saja sudah menutupi keinginanku.
Satu demi satu lembar jatuh ke tanah menjadi setumpuk kotoran yang kemudian dibersihkan lalu dibakar di tempat padang kotoran luas. Maaf sahabat, terkadang aku tidak bisa membantu untuk memungutimu menjadikan dirimu berguna dan bermanfaat. Mungkin karena aku masih bodoh, tapi aku masih ingin tetap belajar. Aku tahu banyak orang pintar yang bisa memanfaatkamu, namun itu hanya segelintir orang yang masih peduli. Tenang sahabat aku masih peduli dengan dirimu.
Huuuuhhhh….habis pula air ini, kemana hendak aku mencarinya. Sedangkan malam sudah menutupi para pejalan kaki. Kota ini negeri yang ramai, pasti masih ada beberapa orang yang menjual dirimu. Bukan menjual kota ini, dengan berbagai alasan untuk ketertiban dan kebersihan.
Kaki tegak ini berjalan, melangkah semampai. Sesekali melempar batu yang ada digenggaman tangan. Aku mendengar jeritan, aku hanya bisa memohon maaf. Ia tidak terluka, hanya aku tinggal sebentar. Bukan selamat jalan sahabat, aku hanya bisa meninggalkan orang-orang yang tidak peduli dengan dirimu saja.
Tentu aku akan menjadi perempuan yang peduli dengan sesama dan alam raya yang menjadi atap rumahku dan bahkan lantainya. Mari kita nikmati perjalanan ini, hingga kau tahu bahwa di setiap pergantian waktu siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang yang peduli satu dengan yang lainnya.