Sudah hampir dua jam aku berpindah-pindah dari satu bus ke bus lain dan tak jarang mampir di pertokoan. Gitarku ini semakin nyaring bunyinya, ketika orang mendengarkan lantunan shalawat cintaku ia pasti akan merasakan kedamaian. Terkadang ada juga orang yang tidak suka dengan shalawat, bahkan aku pernah kenak lemparan batu sehingga kepalaku mengeluarkan darah.
Shalawat cinta itu diajarkan oleh Pak Ahmad, dulu aku selalu menyanyikan lagu-lagu pop ala anak muda. Namun sekarang berganti dengan shalawat cinta. Ya..dengan begitu aku juga menginginkan kedekatan dengan pemberi kabar dan sauri teladan sepanjang zaman.
Alhamdulillah hari ini aku sudah mendapatkan lebih dari hari-hari yang lalu. Lumayan bisa untuk membeli buku bacaan, terutama bacaan buku-buku agama. Sebab aku ingin mengerti agamaku sehingga terpatri dalam hati.
Aku terhenti di warung makan Soto Pak Imam dekat dengan Balai kota tempat kerjanya orang-orang berdasi di pemerintahan dan juga dekat dengan bangunan terkenal di kota ini yakni Lawang Sewu. Rasanya enak makanan ini, katanya pemilik warung resep ini ia dapat dari berbagai uji coba yang ia lakukan. Aku kenal baik dengannya, jika aku makan pasti dikasih harga setengah. Namun bukan ingin dikasihi atau apa, akupun sering membatunya sambil belajar dengannya.
“Copet..copet”, teriak seorang Ibu. Anaknya ditinggal begitu aja. Aku mendengar teriakan copet.
Pencopet itu melintas di warung makan Pak Imam, akupun bergegas mengejarnya. Pak Imam masih melayani para pembeli, meski begitu ia juga ikut membantu. Hanya penikmat soto yang tidak peduli, mungkin karena hidup di kota paham individualisme masih besar.
Sekuat tenaga aku mengejarnya, gitar ini juga masih aku pegang. Aku tahu arah copet itu, sebab aku sudah berpengalaman dengan jalan ini. Hanya beberapa orang yang ikut mengejar copet itu.
Kelihatannya dia sembunyi di balik pohon, aku mengendap-endap. Tiba-tiba pencopet itu muncul. Tusukan pisaunya telah melukaiku, darah kental merah keluar begitu saja. Aku terkapar, namun aku berusaha untuk bangun. Gitar ini menolongku, hantamannya juga membuat jatuh pencopet itu.
Seketika terjadi duel antara aku dan dia, meski darah mengucur deras. Aku berusaha tidak ingin menggunakan kekerasan. Bukannya karena aku perempuan dan kalah kekar dari lelaki pencopet itu. Ia pun paham dengan maksudku, lalu ia minta maaf kepadaku. Diberikannya dompet itu kepadaku, aku berikan hasil dari gitar ini untuknya. Aku persilahkan dia untuk pergi. Pencopet itu sepertinya terkesima dengan diriku, katanya ia ingin bertemu denganku. Temui aku di Masjid Arosid, kataku.
