Scroll untuk baca artikel
Terkini

Siapkah Indonesia Menghadapi Ancaman di IKN?

Redaksi
×

Siapkah Indonesia Menghadapi Ancaman di IKN?

Sebarkan artikel ini

Anggota DPR Komisi X, Andreas Hugo Pareira mengatakan, persoalan memindahkan IKN terdapat potensi ancaman dari aspek perkembangan teknologi IT dan komunikasi.

BARISAN.CO – Jumlah percobaan serangan siber ke Indonesia pada periode Januari hingga Agustus tahun lalu mencapai 888.711.736 serangan siber. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Saburian, yang mencatat serangan siber terbanyak berupa malware, denial service, atau aktivitas mengganggu ketersediaan layanan hingga trojan activity. Hinsa juga mencatat, tren serangan sirangan siber di tanah air sering kali berbentuk serangan ransomware atau malware tebusan dan insiden data-leaks atau kebocoran data.

Dalam diskusi Kajian Keamanan dan Pertahanan Ibu Kota Negara Baru yang diselenggarakan oleh Forum Dialog Nasional, anggota DPR Komisi X, Andreas Hugo Pareira mengatakan, persoalan memindahkan IKN terdapat potensi ancaman dari aspek perkembangan teknologi IT dan komunikasi.

Dalam paparannya, Andreas menyebut, adanya ancaman peretasan yang berkaitan dengan infrastruktur kritis dan sangat sering terjadi. Sehingga, dia menyampaikan, perlu dipersiapkan antisipasi untuk mencegah ancaman itu.

Pada 13 Maret 2022, Orlan-10, yakni kendaraan tak berawak (UAV) jarak menengah yang digunakan oleh angkatan bersenjata Rusia di Ukraina. Sumber di Ukraina menunjukkan sisa-sisa drone kamikaze buatan Rusia itu jatuh di atas Kyiev.

Anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia ini mewanti-wanti, adanya ancaman, yakni UAV/ Suicide Drone di IKN nantinya.

“Mungkin belum pernah terjadi, tapi suatu saat bisa saja terjadi,” kata Andreas pada Kamis (17/3/2022).

Dia menambahkan, rudal jarak jauh, pencurian data strategis, spionase, post truth di media sosial, dan radikalisasi di dunia maya serta aksi terorisme yang mungkin saja menjadi potensi-potensi ancaman ketika dikaitkan dengan IKN baru ini.

“Oleh karena itu pertahanan dan keamanan ini harus terus ditingkatkan diikuti dengan perkembangan zaman, perubahan, cara pandang kita terhadap ancaman. Sehingga dengan demikian, kita juga menyiapkan peralatan yang sesuai dengan perkembangan zaman tersebut,” tambah Andreas.

Menurutnya, perlu juga melihat potensi ancaman itu dengan mempersiapkan strategi melalui perencanaan dan anggaran yang baik.

“Ujung-ujungnya kalau kita bicara anggaran, BSSN itu sekarang anggarannya itu tidak sampai 1 triliun. Sementara tugas untuk BSSN menjaga wilayah siber kita ini masih jauh dari cukup,” ungkap Andreas.

Dua tahun berturut-turut, anggaran BSSN memang mengalami penurunan. Di tahun 2020, angkanya mencapai Rp 2,2 triliun. Sedangkan, di tahun 2021 dipangkas menjadi Rp 1,5 triliun. Dan, di tahun 2022, BSSN mendapatkan pagu anggaran Rp 554 miliar.

Anggaran memang tidak selalu meningkatkan kinerja aparat pemerintah. Seperti yang diungkapkan oleh pengamat militer dan pertahanan, Ade Muhammad. Dia menuturkan, meski anggaran pertahanan meningkat signifikan dari tahun 2009 sebanyak Rp 33,67 triliun sedangkan di tahun 2020 mencapai Rp 131 triliun, tingkat readiness masih terbilang rendah.

Ade menjelaskan, TNI AD misalnya di tahun 2009 tingkat readiness-nya hanya 61,81 persen dan tahun 2020 baru 66 persen. Sama dengan TNI AL, tahun 2009 sebesar 30,88 persen dan tahun 2020 mencapai 47 persen.

Yang agak terlihat drastis, Ade menyebut, TNI AU. Tahun 2009, kesiapannya 16,55 persen sedangkan tahun 2020 melesat menjadi 65 persen.

“Kalau dirata-rata, tahun 2009 kesiapannya 35 persen dan tahun 2020 baru 59 persen dengan kenaikan anggaran sebesar 389 persen. Sehingga, masalahnya bukan anggaran, namun sistem manajemen strategis yang bermasalah. AU meskipun drastis naik Readiness-nya, namun untuk pesawat tempur hanya 37%,” tutur Ade. [rif]