Scroll untuk baca artikel
Blog

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Redaksi
×

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebarkan artikel ini

BEGITULAH Polanco di pagi hari. Kaki basah karena melangkah di rerumputan yang penuh embun. Menembus gelap hutan, menyibak semak-semak liar. Semua itu dilakukan hanya demi seikat kayu bakar untuk memasak. Polanco tinggal di sebuah rumah, jauh dari kebisingan kota, bersama ayah dan ibunya.

Pada suatu hari, Polanco kembali pergi ke hutan. Ibunya mengisi waktu sekaligus menanti Polanco pulang dengan sibuk memetik sayuran di belakang rumah. Ayahnya telah pergi ke sawah, menggarap sawah seseorang. Ia akan pulang jam sembilan, untuk menenangkan perut yang keroncongan, kemudian kembali lagi ke sawah hingga matahari di titik tertinggi, yang membuat mulut mengeluh tak henti-henti.

Bagi Polanco, hutan sudah merupakan temannya sendiri. Tidak pernah ada rasa takut dengan hewan buas yang sewaktu-waktu bisa muncul di hadapan mata tanpa pernah diduga. Polanco memunguti kayu kering yang entah jatuh semalam atau berhari-hari sebelumnya, dengan perasaan penuh kesabaran. Biasanya, Polanco akan lebih dulu mengumpulkan di suatu tempat, hingga kira-kira terkumpul banyak. Setelah banyak, ia akan mengikat dengan tali yang dibawanya dari rumah. Lalu membawanya pulang dengan wajah yang cerah.

Di perjalanan pulang, ia bertemu seorang lelaki, yang tidak lain ialah temannya. Jaka Tarub, pemuda yang dari segi kadar ketampanan, tergolong lelaki yang tampan. Ia menjadi idola gadis-gadis desa.

“Kok tumben kelayapan di hutan?” tanya Polanco. Kedua tangannya memegang seikat kayu bakar yang ada di atas kepala.

“Iya ini mau ke telaga,” ujar Jaka Tarub. “Tadi dari rumah aku melihat ada tujuh bidadari turun dari langit. Selendang mereka beraneka warna. Kuperkirakan mereka turun di tengah hutan. Karena di sana terdapat telaga. Menurut cerita yang berkembang, jika ada bidadari turun ke bumi, konon katanya mereka hendak mandi.”

 “Serius?”

“Aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri. Makanya aku ingin memastikan saja. Ayo ikut. Kayu bakarmu taruh di sini saja, biar cepat melangkah. Nanti diambil lagi.”

Karena selama hidup belum pernah menyaksikan secara langsung bidadari dan didorong rasa penasaran dengan cerita Jaka Tarub, maka Polanco mengiyakan ajakannya.

Mereka berdua terus melangkah menuju telaga. Hingga kemudian tiba di tempat tujuan. Ternyata benar, di telaga ada tujuh bidadari sedang mandi. Mereka tentu tidak telanjang bulat—sengaja di cerita ini para bidadari tidak digambarkan telanjang bulat, sebab dikhawatirkan akan menganggu pikiran pembaca. Mereka mengenakan kain yang dibalutkan ke tubuh mereka.

Dari balik semak-semak, Polanco dan Jaka Tarub mengamati. Pandangan Jaka Tarub tertuju ke suatu arah, tepatnya di atas sebuah batu besar. Di mana di situ terdapat beberapa stel pakaian nan apik, ala bidadari. Lalu mata Jaka Tarub kembali terfokus kepada tujuh bidadari yang sedang mandi.

“Eh, kedip kau! Lihat yang cantik-cantik langsung ijo matanya!” kata Polanco menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah Jaka Tarub.

“Ini lebih dari sekadar cantik, Lan. Bidadari-bidadari itu jauh lebih cantik dibanding gadis-gadis di desa kita. Aku jadi punya ide.”

“Ide?”

“Aku tahu, bagaimana agar mereka bisa menjadi milikku, bahkan milikmu kalau kau mau. Yang mana ya, Lan? Cantik semua!”

“Kau ini sudah gila? Baru saja kau melihat, langsung ingin memiliki.”

“Aku telah jatuh cinta.”

“Apa kau bilang? Jatuh cinta?” tanya Polanco dengan nada tidak habis pikir. “Apakah jatuh cinta secepat dan semudah itu?”

“Cinta itu terkadang memang tidak nalar.”

“Tidak nalar, ya tidak nalar. Tapi bukan berarti semudah ini juga. Kukira kau ini hanya nafsu saja dengan keindahan mereka.”