Scroll untuk baca artikel
Blog

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Redaksi
×

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebarkan artikel ini

Dari balik semak-semak, Polanco dan Jaka Tarub mengamati. Pandangan Jaka Tarub tertuju ke suatu arah, tepatnya di atas sebuah batu besar. Di mana di situ terdapat beberapa stel pakaian nan apik, ala bidadari. Lalu mata Jaka Tarub kembali terfokus kepada tujuh bidadari yang sedang mandi.

“Eh, kedip kau! Lihat yang cantik-cantik langsung ijo matanya!” kata Polanco menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah Jaka Tarub.

“Ini lebih dari sekadar cantik, Lan. Bidadari-bidadari itu jauh lebih cantik dibanding gadis-gadis di desa kita. Aku jadi punya ide.”

“Ide?”

“Aku tahu, bagaimana agar mereka bisa menjadi milikku, bahkan milikmu kalau kau mau. Yang mana ya, Lan? Cantik semua!”

“Kau ini sudah gila? Baru saja kau melihat, langsung ingin memiliki.”

“Aku telah jatuh cinta.”

“Apa kau bilang? Jatuh cinta?” tanya Polanco dengan nada tidak habis pikir. “Apakah jatuh cinta secepat dan semudah itu?”

“Cinta itu terkadang memang tidak nalar.”

“Tidak nalar, ya tidak nalar. Tapi bukan berarti semudah ini juga. Kukira kau ini hanya nafsu saja dengan keindahan mereka.”

“Ahh, aku tidak peduli. Aku ingin memiliki salah satu dari mereka.”

“Bagaimana caranya? Apakah kau akan menculiknya? Jika benar, kau kejam. Bidadari juga memiliki hak untuk hidup bebas. Jangan kau paksa untuk menjadi milikmu.”

“Aku tentu tidak akan menculiknya. Kau tunggu di sini saja. Jangan aneh-aneh. Jangan sampai keberadaan kita diketahui oleh mereka. Aku akan mengambil salah satu selendang mereka.”

“Untuk apa?”

Jaka Tarub lalu berjingkat, bergerak perlahan. Bak seekor singa yang mengintai rusa, menunggu saat yang tepat. Jaka Tarub tiba di dekat batu besar di balik semak-semak, ia terdiam sejenak. Sementara tujuh bidadari itu masih asyik mandi. Mereka tertawa dan bercanda. Saat momen yang ditunggu telah tepat, dengan sigap tangan kanan Jaka Tarub mengambil salah satu selendang. Jaka Tarub tersenyum puas.

“Mau kau apakan selendang itu?” Jaka Tarub kaget mendengar pertanyaan yang muncul dengan begitu tiba-tiba. Polanco sudah berada di dekatnya.

“Aku akan menyembunyikannya. Agar salah satu dari mereka tidak bisa pulang. Nah, dengan begitu mau tidak mau harus tinggal di bumi.”

“Kau yakin hanya dengan menyembunyikan selendang, salah satu dari mereka tidak bisa pulang?”

“Tentu saja yakin, menurut cerita-cerita, bukankah mereka dapat terbang karena selendang? Jadi kalau tidak ada selendang? Kau pasti paham. Aku akan berpura-pura mencari kayu bakar di sini. Aku akan menolong bidadari yang tidak pulang, dengan membawa pulang, dan kusuruh tinggal di rumahku. Apakah kau juga mau? Mereka begitu cantik, teman.”