Scroll untuk baca artikel
Blog

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Redaksi
×

Sifat Baik Polanco – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebarkan artikel ini

Tiba-tiba saja Polanco merebut selendang yang ada di genggaman Jaka Tarub. Dengan wajah tidak suka, Polanco berujar, “Aku tidak akan membiarkanmu mendapat kebahagiaan dengan cara licik seperti ini!”

“Lan, aku ini temanmu. Seharusnya kau senang melihat temanmu akan bahagia.”

“Tetapi aku tidak suka dengan caramu! Aku akan mengembalikan selendang ini ke tempatnya dengan baik-baik.”

Dada Jaka Tarub memanas. Mereka terlibat perdebatan sengit. Pada awalnya hanya sekadar cekcok, hingga pada akhirnya saling baku hantam. Selendang itu tergeletak di tanah. Polanco mencoba melindungi selendang itu dari Jaka Tarub. Sementara Jaka Tarub juga berusaha mengambilnya. Mereka masih terus baku hantam.

“Semakin jelas bahwa kau tidak jatuh cinta, melainkan hanya nafsu belaka. Jika kau benar-benar jatuh cinta, kau tidak mungkin menempuh dengan cara yang kotor.”

“Aku tidak peduli. Bedebah kau!”

Sayang, Polanco akhirnya kalah baku hantam. Ia tersungkur. Selendang milik salah satu bidadari itu tertindih tubuh Polanco yang babak belur. Ketika Jaka Tarub akan menyingkirkan tubuh Polanco, tujuh bidadari itu telah selesai mandi dan berjalan menuju daratan. Pandangan salah satu dari mereka tertuju pada Jaka Tarub. Lelaki itu menjadi ragu-ragu untuk mengambil dan akhirnya lebih memilih kabur. Ia berpikiran, dengan ia kabur, maka Polanco akan menjadi tersangka, dituduh oleh para bidadari mencuri selendang.

Padahal bidadari tidak sebodoh itu. Dan yang terjadi tidak serupa apa yang dibayangkan oleh Jaka Tarub. Bidadari itu tidak menghakimi Polanco. Polanco menjelaskan apa yang terjadi. Bidadari-bidadari itu menyembuhkan babak belur Polanco dengan mantra yang sama sekali tidak dimengerti oleh manusia. Singkat cerita, enam bidadari telah kembali ke kayangan. Satu bidadari belum pulang, ia sengaja menemani Polanco yang kondisinya telah membaik, di tepi telaga. Bidadari yang bernama Nawangwulan itu merasa berutang budi.

“Apa yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu?” tanya Nawangwulan. Ia begitu berharap Polanco melontarkan kata-kata permintaan, sehingga rasa berutang budinya hilang.

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Memang itu sudah menjadi keharusanku, ketika mengetahui sesuatu yang tidak baik.”

“Kau baik sekali.”

Pertemuan itu, pertemuan yang tidak pernah dinyana oleh Polanco, ternyata mengundang pertemuan-pertemuan lain. Meski Polanco hanyalah pemuda desa, dengan kehidupan apa adanya, namun Nawangwulan tidak pernah merasa canggung. Dengan mantra-mantranya, Nawangwulan sering membuat Polanco bahagia, mulai dari menghidangkan makanan enak yang tidak pernah Polanco cicipi hingga mengajaknya terbang menikmati tempatnya tinggal dari atas. Polanco memang merasa senang, namun rasa senang hanya sebatas senang. Berbeda dengan Nawangwulan.