Sekali lagi terlihat keterkejutan menyergap wajah Ghofur. Tapi keterkejutan yang teramat singkat dan segera ia tumpas. Dan hanya Ghofur saja yang dapat merasakan keterkejutannya itu.
“Sandiwara apa lagi ini! Cukup! Sekarang pergilah!”
Meski terdengar tegas tapi kali ini nada bicara Ghofur sudah tidak sekeras sebelumnya. Dan kali ini Paramitapun tak berani lagi menahan langkah Ghofur.
Perempuan itu hanya dapat menatap Ghofur yang mulai melangkah meninggalkannya. Terus terang Paramita masih terpaku tak percaya dengan pengakuan Ghofur barusan.
“Tega sekali Engkau Kakang Loka Syiwa. Mengapa Engkau seperti menganggap hina masa lalumu sendiri? Aku mungkin boleh Engkau lupakan, tapi tidak dengan Asmaradhana darah dagingmu sendiri,” bisik hati Paramita sedih.
Nalurinya sebagai seorang istri dan ibu sangat yakin bahwalelaki bernama Ghofur itu adalah Mpu Loka Syiwa seorang resi anom penganut Syiwa Budha yang juga adalah suaminya.
“Mengapa Engkau tega sekali menyiksaku seperti ini Kakang?” tanya hati Paramita kembali. Sekujur tubuhnya serasa tak memiliki daya. Harapannya seketika itu runtuh sudah.
“Sekejam itukah agama yang Kakang anut sekarang? Hingga harus memutuskan pertalian darah antara anak dan ayahnya,” tanya hati paramita tak mengerti.
Belum genap sepuluh langkah Ghofur meninggalkan Paramita, betapa terkejutnya Ghofur. Tepat di hadapannya kini telah berdiri seorang laki-laki yang sangat ia hormati. Bukan hanya Ghofur yang dibuat terkejut oleh kehadiran lelaki yang sedari tadi bersembunyi di balik belukar tersebut. Paramitapun tak kalah terkejutnya.
“Bagaimana Gusti Praba dapat hadir di sini?” tanya Ghofur ketakutan.
Ghofur sungguh tak menyangka jika junjungannya tersebut mengikuti seluruh perselisihannya barusan. Ghofur sangat takut jika akhirnya nanti ia dianggap sebagai mata-mata Majapahit.
“Hamba tidak kenal sama sekali dengan perempuan keparat itu Gusti!” ucap Ghofur membela diri sambil menghaturkan sembah kepada lelaki muda yang dipanggil dengan Gusti Praba tersebut.
“Sudahlah! Redakan amarahmu Ghofur. Duduklah dengan tenang,” jawab Praba sambil mengajak Ghofur berjalan mencari tempat duduk.
“Mendekatlah kemari kisanak!” panggil Praba kepada Paramita.
Mendengar panggilan Praba, Paramita tak segera mendekat. Keraguan tampak menyelimuti perasaannya.
Barulah ketika Praba memanggilnya kembali, Paramita berani melangkahkan kakinya mendekati kedua lelaki yang kini telah duduk bersila di bawah pokok pohon Beringinhutan tersebut.