Dalam situasi ini, tulis Rendy Pahrun Wadipalapa, (Kompas, 10 Mei 2022), Pemilu bukan lagi manifestasi penghormatan atas suara rakyat, melainkan satu periode yang membuka seluas-luasnya bazar kompromi, mengatur ulang posisi kekuatan politik masing-masing. Kartel, dalam pengertian ini, adalah jejaring kolusif yang disatukan oleh kesamaan kepentingan dan selalu berjalan di atas negosiasi, kompromi, dan kooptasi antarkelompok.
Jokowi Effect
Sebenarnya kemunculan dan sekaligus kemenangan Presiden Joko Widodo di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, diharapkan membawa angin bagi perubahan demokrasi dan budaya politik secara mendasar, dengan salah satunya memberangus politik kartel hingga keakar-akarnya. Namun apa lacur, harapan tersebut sirna ketika akhirnya Jokowi juga menerapkan politik kartel dengan memasukkan Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam kabinet.
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi menilai, masuknya Golkar dan PAN di pemerintahan bisa menjebak presiden dalam kartel politik. Padahal Presiden Jokowi sudah mendapat dukungan dua pertiga kursi di parlemen. Langkah Presiden Jokowi tersebut, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, bisa mengurangi check and balance pemerintah di parlemen.
Menjelang Pilpres 2019, seperti ditulis Bahtiar dan kawan-kawan (Jurnal Pengawasan Pemilu Bawaslu DKI, Agustus 2022), penguasa melakukan tranformasi dari partai massa yakni: repsentative capacity. Namun faktanya, rekayasa elektoral pada Pemilu Serentak 2019 tersebut tidak mampu meningkatkan representasi politik. Begitupun dengan tujuan partai catch-all adalah efektivitas kebijakan. Sejauh ini, janji kampanye seringkali tidak menjadi prioritas utama ketika menjabat. Program kerja dibuat untuk memenangkan pemilu, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, rekayasa elektoral pada Pemilu 2019 berdampak pada menguatnya Parpol kartel.
Sementara menjelang akhir jabatan Presiden Jokowi pada Oktober 2024, indikasi terus menguatnya politik kartel makin menghawatirkan. Bahkan bersimbiosis-mutualistik dengan menguatnya politik dinasti yang melibatkan anak-anak dan menantu presiden Jokowi. Tanpa menafikan legasi (warisan) berharga dan bernilai yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi. sejumlah catatan kritis dan buruk perlu dialamatkan kepada regim. Sehingga Majalah Tempo edisi khusus 10 tahunnya, memplesetkan Nawacita Jokowi menjadi Nawadosa Jokowi. Hal ini bisa dikatakan tidak terlepas dari gaya kepemimpinan Presiden Jokowi (Jokowi effect).
Kesepuluh Nawadosa Jokowi tersebut, sebagai berikut: Pertama, dinasti dan oligarki politik. Kedua, pelemahan insitusi demokrasi. Ketiga, keterlibatan TNI di ranah sipil. Keempat, konflik Papua tak kunjung padam. Kelima, runtuhnya sistem Pendidikan. Keenam, watak patron-kelian kepolisian. Ketujuh, politisasi kejaksaan. Kedelapan, pelemahan KPK. Kesembilan, kegagalan menangani pelanggaran HAM berat.
Kemudian kesembilan, karut marut mengelola APBN. Kesepuluh, karut marut mengelola APBN. Kesebelas, runtuhnya independensi Bank Indonesia. Keduabelas, ketergantungan utang Cina. Ketigabelas, pemaksaan ibukota negara. Keempatbelas, gimik demokrasi luar negeri. Kelimabelas, kerusakan lingkungan. Keenambelas, konflik agraria. Ketujuhbelas, kriminalisasi atas nama proyek strategis nasional. Kedelapan belas, kebebasan sipil yang menyempit,
Paska Pilpres 2024 berakhir dengan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto menjadi peraih suara terbanyak dengan mengalahkan Paslon Capres Anies Rasyid Baswedan dan Cawapres Muhaimin Iskandar. Capres Prabowo mengusung isu atau narasi kesinambungan, Sedangkan Capres Anies mengusung tema perubahan. Jika kesinambungan dimaknai secara dinamis dan selektif dalam arti melanjutkan yang baik dan positf lalu membuang yang negatif dari kepemimpinan dan pemerintahan Jokowi, itulah yang didambakan oleh rakyat kebanyakan terlepas pilihan politiknya saat Pilpres 2024. Masalahnya akan menjadi ancaman dan bahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya di bidang pembanguann demokrasi, manakala presiden terpilih Prabowo melanjutkan dan apalagi memperkuat warisan buruk. Salah satunya adalah politik kartel.