Scroll untuk baca artikel
Blog

Soekamto Gullit

Redaksi
×

Soekamto Gullit

Sebarkan artikel ini

BANYAK ingatan tentang Soekamto, sahabat Semarang mirip pebola legendaris Ruud Gullit itu. Saking banyaknya sulit saya mengawali tulisan ini. Baiklah, saya mulai kala dia menikah pada tahun 2000. Saya diundang dan hadir bersama isteri dan anak kembar dampit kami, dalam resepsi pernikahan Gullit di rumah di daerah Kalibanteng. Resepsi yang meriah dan dihadiri banyak seniman. Saat kami menyalami pengantin, saya lihat mata Kamto berkaca-kaca terus. Tampaknya dia tak habis menangis sepanjang resepsi.

Prolog tulisan ini mencatat dua hal. Pertama, tamu undangan banyak seniman. Sebabnya Gullit memang bukan pemain sepakbola, melainkan seniman — tepatnya penyair — dan belakangan duduk sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Semarang (Dekase).

Kedua, meski dikenal berwatak keras, bagai permainan bola Ruud Gullit, Kamto adalah pribadi yang mudah terharu oleh pergaulan murni di antara teman sejawat. Dia bisa menangis lama setelah memukul mundur lawannya. Itu pernah terjadi saat dia dengan sepedamotornya memboncengkan saya, untuk maranin seorang teman yang ada sedikit konflik.

Dia melarikan motornya, yang kali ini bagaikan pembalap di kesibukan lalulintas kota. Saking takutnya saya pura-pura muntah, dan Gullit pun menghentikan motornya. Dia tampak kuatir sekali melihat saya muntah-muntah, yang sebenarnya itu ekting. Terlebih saya adalah senior, dan dia yunior. Dia memijati saya dengan sepenuh cemas, sementara saya menahan tawa sambil terus berekting sakit.

Ekting saya berhasil, meski dia juga seorang aktor. Hasilnya, lanjut dia tidak ngebut lagi. Tapi kemarahannya terlunasi saat kami baca puisi di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Saat itu acara baca puisi yang dikoordinasi Arieyoko, yang menampilkan banyak penyair se Indonesia.

Saya didaulat monolog sebagai gong. Itu sebabnya saya pamit kepada Kamto, selaku sekretaris Dekase, untuk berangkat sehari sebelum hari H. Dan Kamto memberi uang transport dari Dekase. Dari Semarang yang diundang kami bertiga: Soekamto Gullit, Beno Siang Pamungkas, dan Eko Tunas.

Tapi apa naas, begitu giliran saya mau tampil, MC berteriak: kami tampilkan monolog dari penyair Tegal, Eko Tunas. Saya mak-deg, bukankah saya mewakili Semarang dan resmi duta Dekase. Benar, usai acara Gullit misuh misuh, “Seko semarang, Dekase, sing nyangoni aku, kok..Tegal..!”

Lho, dudu salahku to To, sanggah saya. “Lha salah sopo, MC-ne, kene tak jotosi.” Bisa dibayangkan bagaimana repotnya kami mencegah kemarahan seorang Gullit.

Tapi bagi kami yang mengenal watak Gullit, itulah ekspresi Kamto. Setotal itu ekspresinya saat ia membacakan puisinya. Terutama kala dia berkeliling dari kota ke kota, membacakan puisinya dalam antologi “Bulan Pecah” diiringi musik. Penonton dibuat pecah betul oleh totalitasnya. Tapi di belakang layar saya tahu, dia selalu gelisah setiap mau tampil.

Sebagai senior saya pun bilang kepadanya, gelisah itu perintah Tuhan. “Perintah piye,” gerutunya, “sampean pengarang ojo ngarang terus, Mas.”

Lho, tukas saya, itu ujian untuk kita bisa berkomunikasi dengan diri kita sendiri. Tatkala kita mampu mengatasi demam panggung, itulah ekspresi. Lalu cetus saya: kalau orang tidak bisa berkomunikasi dengan diri sendiri, bagaimana mungkin dia bisa berkomunikasi dengan publik?

Entah apakah Kamto menganggap ujaran saya itu sebagai karangan atau tidak. Tapi pada kenyataannya, setelah penampilan total ekspresinya, dia selalu tampak puas. Tandanya mudah dilihat, dia tampak tertunduk diam saat disalami banyak teman, dan matanya tampak berkaca-kaca.

Pertemuan terakhir saya dengannya, saat kami tampil baca puisi di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo. Ialah pada acara Mengenang dan membaca puisi karya Murtijono di Teater Arena 2022. Dari Semarang: Timur Suprabana, Soekamto Gullit, Eko Tunas. Dari Solo: Sosiawan Leak, Hanindawan, dll, dan orasi Halim Hade.