Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan musim 2022 ini target sasaran tanam Sorgum sebesar 15.000 hektare, pada 2023 targetnya 115.000 hektare dan pada 2024 diupayakan mencapai 154 ribu hektare.
Dirangkum dari seri bimbingan teknis yang digelar Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Sorgum adalah makanan alternatif pengganti beras atau nasi. Selain menyehatkan karena karena mengandung gizi lebih baik dibanding beras dan gandum, Sorgum juga sangat baik untuk dikonsumsi pengidap diabetes dan autis. Kandungan gizi dalam Sorgum mencakup kalori, protein, lemak, serat, kalium, fosfor dan zat besi.
Menanam Sorgum juga sama halnya menanam jagung. Namun perawatannya sangat mudah karena pupuk yang digunakan lebih sedikit dan dapat dipanen dalam 100 hingga 110 hari. Kemungkinan ganguan hama hanya burung karena bijinya terbuka tidak memiliki pelindung seperti jagung.
Selain itu, daun serta batang juga dapat secara langsung digunakan untuk pakan ternak. Pakan dari Sorgum juga dapat meningkatkan produktifitas ternak. Testimoni ini banyak disampaikan dalam sejumlah diskusi belakangan ini apakah dari peternak skala kecil hingga besar.
Batang Sorgum jenis sweet sorgum juga dapat diolah menjadi bahan gula merah dan gula cair. Bahkan dalam skala industri batang Sorgum. Juga dapat digunakan untuk memproduksi biomassa dan biofuel.
Presiden Mendatang, Lanjutkan!
Sehebat apapun peta jalan, rencana, diskusi dan juga manfaat Sorgum dibandingkan tanaman pangan lainnya tidak ada apa-apanya bila kebijakan yang dibuat saat ini kemudian dianulir pada masa rezim berikutnya. Bila itu terjadi tidak hanya akan membuat petani dan dunia usaha frustrasi tetapi juga masyarakat Indonesia terancam kelaparan dan kesulitan energi.
Karena itu pengembangan Sorgum ini harus berkelanjutan dan menjadi program prioritas atau mungkin masuk ke dalam proyek strategis nasional (PSN). Kenapa tidak? Toh, hilirisasi Sorgum ini memiliki nilai tambah sangat tinggi.
Lahan tidur, lahan milik rakyat, lahan alang-alang, lahan milik Perhutani yang terlantar ataupun yang masih produktif dapat disulap menjadi ladang Sorgum. Antusiasme masyarakat yang menanam Sorgum untuk kepentingan sehari-hari harus tetap tumbuh. Namun, harus dibarengi pertanian massal skala industri.
Karena itu upaya Kementan untuk mengembangkan sentra-sentra Sorgum dalam skala industri yang terintegrasi perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Karena krisis pangan dan energi tidak bisa lagi ditunda dan sedang berjalan tinggal menunggu sampai kapan tiba di Indonesia.
Sorgum sejatinya sudah ditanam di Indonesia sejak zaman Belanda dan dikembangkan baru tahun 70-an. Namun, Sorgum ‘sempat’ dilupakan karena itu Indonesia jauh tertinggal dari Amerika Serikat (11,37 metrik ton), Nigeria (6,8), Etiopia (5,2), Sudan (5) dan Meksiko (4,7). [rif]