Scroll untuk baca artikel
Blog

Bagaimana Resolusi Jihad Hilang dari Catatan Sejarah Selama 70 Tahun

Redaksi
×

Bagaimana Resolusi Jihad Hilang dari Catatan Sejarah Selama 70 Tahun

Sebarkan artikel ini

Resolusi Jihad jarang dibahas sebab absennya komunitas NU dalam politik praktis era Soekarno.

BARISAN.CO Jika ada pertempuran paling nekat dan destruktif yang layak terus dibicarakan, maka peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, di mana puluhan ribu pejuang Indonesia gugur demi mempertahankan kemerdekaan, adalah salah satunya.

Dalam pertempuran itu, sekurang-kurangnya 20.000 pejuang gugur. Presiden Soekarno kemudian menetapkan hari berdarah itu sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959.

Sejak saat itu, 10 November selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan. Kita mungkin selalu merayakan Hari Pahlawan tanpa pernah serius bertanya: bagaimana pertempuran senekat ini dahulu bisa terjadi?

“Ada peran Kiai Hasyim Asy’ary secara khusus dan dunia pesantren secara umum yang selama ini kita lupakan,” kata Kolonel Dr. Kusuma Espe, sejarawan militer Kementerian Pertahanan, saat dihubungi Barisanco, Jumat (7/10/2022).

Dua minggu sebelum pertempuran Surabaya meledak, KH Hasyim Asy’ary menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta Muktamar Umat Islam yang berlangsung di tanggal 21-22 Oktober 1945.

Dr. Kusuma Espe menjelaskan, di muktamar itu Kiai Hasyim mengajak umat untuk berperang melawan kedatangan tentara Belanda yang ingin berkuasa kembali padahal Indonesia sudah merdeka. Ajakan ini kemudian dikenal dalam istilah ‘Resolusi Jihad’.

“Kiai Hasyim menjelaskan bahwa syariat Islam tidak bisa dijalankan di negeri yang terjajah. Dengan tegas Sang Kiai berseru, barangsiapa memihak kaum penjajah, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya,” kata Dr. Kusuma Espe.

Keadaan itu kontan disambut semangat berapi-api. Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya.

“Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non-reguler Sabilillah dikomandoi KH Maskur. Santri berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah dipimpin H Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin KH Wahab Hasbullah,” kata Dr. Kusuma.

Namun, peristiwa ini jarang dibahas dalam buku-buku sejarah. Barulah pada tahun 2015, kesadaran akan pentingya Resolusi Jihad dalam sejarah berbangsa mendapat perhatian: Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Momentum itu membuat kita kembali bertanya-tanya, kenapa harus lama sekali, kenapa butuh waktu 70 tahun sebelum akhirnya peran santri mendapat legitimasi negara?

Politik Kesejarahan

Jarang dibahasnya Resolusi Jihad dalam sejarah kita, menurut Dr. Kusuma, erat kaitannya dengan politik praktis yang berlangsung pasca Indonesia merdeka.

“Peta politik nasional sepuluh tahun pasca kemerdekaan didominasi oleh peran Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menyebabkan tulisan sejarah masa itu mengikuti alur yang berkuasa. Dengan demikian kajian sejarah tidak terlepas dari bias sumber yang digunakan,” kata Dr. Kusuma Espe.

Dr. Kusuma menjelaskan, setelah revolusi usai, banyak komunitas Islam NU menarik diri dari gelanggang politik praktis maupun militer. Mereka merasa ketika revolusi selesai, maka selesai pula tugasnya dan banyak di antara mereka yang kembali ke pekerjaan semula.

“Tidak terlintas untuk melanjutkan menjadi militer ataupun birokrat di pemerintahan. Kalaupun ada jumlah mereka sedikit dan bukan pada posisi yang strategis. Ini pola pikir sederhana yang mendasarkan diri pada semangat pembelaan agama yang merupakan tugas suci komunitas,” terang Dr. Kusuma.

Alhasil, nyaris semua berita, dokumen, atau wawancara-wawancara penelitian sejarah kala itu bukan datang dari komunitas NU, yang merupakan pencetus Resolusi Jihad.

Posisi tawar NU kalah oleh orang yang terlibat secara penuh di pemerintahan maupun militer. Narasumber penelitian sejarah banyak datang dari pihak lain yang, tentu saja punya nuansa sejarah berbeda.