BARISAN.CO – Akhir-akhir ini, masyarakat sering kali terpolarisasi. Perpecahan yang terjadi membuat negara cenderung menjauhkan diri dari tujuan berbangsa sebenarnya.
Di media sosial, khususnya di Twitter, tak jarang netizen menyudutkan orang Tionghoa. Contohnya saat ada kasus korupsi, mereka menyebut tidak ada koruptor kelas kakap keturunan Arab, adanya dari Cina. Tentu, kalimat tersebut bisa menyulut perpecahan.
Sejarawan militer, Kusuma Espe mengatakan, para perintis kemerdekaan memunculkan paham nasionalisme berusaha untuk berusaha menyatukan seluruh elemen bangsa karena pejuang saat itu sudah menyadari bahwa bangsa Indonesia ini bukan bangsa yang homogen, namun bangsa yang heterogen. Hal itu disampaikan pada Mimbar Virtual: Nasionalisme Kaum Minoritas.
“Di sana tidak hanya disebutkan Jawa dan luar Jawa, tapi juga ada bangsa lain yang sudah lama berbaur. Untuk menentang imperialisme dan kolonialisme, muncullah nasionalisme Indonesia dalam mewujudkan bentuk kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, dan demokrasi yang ada di Indonesia,” kata Kusuma pada Rabu (24/8/2022).
Dia menyampaikan, nasionalisme dianggap sebagai endapan sejarah kesamaan sejarah dan kesamaan nasib sekelompok orang-orang dan visi masa depan yang dibentangkan bersama.
Diaspora Arab dan Kolaborasi dengan Etnis Cina
Dalam kesempatan itu, dia mengungkapkan, adanya garis terpisah antara masyarakat Indonesia saat itu terjadi kala perekonomian Belanda mengalami penyusutan akibat Perang Dipenogoro. Kemudian, Belanda membagi masyarakat menjadi 3 strata.
“Strata pertama orang-orang yang berkulit putih dari Eropa, Amerika, dan lainnya pokoknya yang berkulit putih. Kedua, warga Timur asing ketika itu yang banyak adalah orang-orang dari Cina, Arab, India, dan Pakistan. Ketiga, pribumi,” tuturnya.
Menurutnya, kedatangan bangsa Arab dalam dua fase. Pada fase pertama, untuk menyebarkan agama dan berdagang secara perorangan dan karena terjadinya perang ideologi tentang perbedaan pemahaman keagaman sebelum abad ke-12. Sedangkan, fase kedua terjadi pada abad ke-17 hingga awal abad 20.
“Diaspora kedua kalangan Arab ini sudah membawa keluarga karena kala itu Belanda membutuhkan orang-orang yang mungkin agak lebih bagus daripada pribumi. Dianggap sebagai janji Belanda kalau mereka datang ke Nusantara ini akan hidup lebih baik karena di Arab sana ada persaingan antara Umayyah dan Abbasiyah, menyebabkan orang-orang Arab berdiaspora,” jelasnya.
Kusuma menuturkan, diaspora dari fase pertama dan kedua ternyata tidak akur karena fase pertama merasa peranakan dan fase kedua menganggap keturunan asli.
“Kemudian, muncullah tokoh yang bernama Abdurahman Baswedan. Melalui perjuangan yang luar biasa akhirnya AR Baswedan ini mencoba menyatukan mereka dan ternyata berhasil. Maka, dia bentuk Partai Arab Indonesia tahun 1934,” imbuhnya.
Kusuma menjelaskan, penyatuan dua diaspora Arab ini bukan tanpa ada suatu pengaruh karena sejak tahun 1930-an AR bekerja sebagai wartawan di koran Sin Tit Po yang dimiliki diaspora Cina.
“Dari dua bangsa Timur yang masuk ke Indonesia, mereka mengadakan kolaborasi yang satu pemilik koran dan AR adalah wartawannya. Melalui koran itu bersama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia,” jelasnya.
Dia menambahkan, di tahun perekrutan AR, kalangan Tionghoa membentuk Partai Tionghoa Indoensia (PTI).
“Tahun 1934, AR Baswedan membentuk Partai Arab Indonesia. Kedua partai ini memiliki tujuan sama, yaitu ingin berjuang untuk kemrdekaan indonesia,” terangnya.
Dia menegaskan, kolaborasi berlanjut setelah AR Baswedan dan pendiri Sin Tin Po, Liem Koen Hian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).