Scroll untuk baca artikel
Terkini

Vincentius Arnold Beberkan 4 Proses Agar Memiliki Nasionalisme yang Tinggi

Redaksi
×

Vincentius Arnold Beberkan 4 Proses Agar Memiliki Nasionalisme yang Tinggi

Sebarkan artikel ini

Vincent menegaskan, dari keempat proses tersebut perlu diperhatikan agar generasi muda memiliki rasa keterpanggilan untuk membangun Indonesia.

BARISAN.CO – Pegawai di Inclusive Human Resources Indonesia, Vincentius Arnold mengungkapkan, agar semua masyarakat memiliki nasionalisme yang tinggi, maka ada empat proses yang harus dilakukan. Hal itu dia sampaikan dalam Mimbar Virtual, “Nasionalisme Kaum Minoritas” pada Rabu (24/8/2022).

Proses pertama adalah melalui pendidikan formal. Dari pengalamannya saat mengenyam pendidikan formal, dalam pendidikan sejarah khususnya, banyak informasi yang masih kurang lengkap.

“Apakah kita mengenyam pendidikan formal yang bermutu yang memungkinkan kita belajar sejarah dengan berimbang dan lengkap? Terus terang, saya tidak ingat, sepertinya banyak serpihan yang hilang,” kata aktivis Ekonomi Solidaritas Sosial ini.

Kedua adalah proses psikologis. Menurutnya, kalau memang masyarakat menganggap penting untuk memegang teguh nasionalisme, Indonesia harus bersatu.

“Saya pikir kalau kita melihat berita yang muncul di media sosial dan TV itu tidak karuan. Semuanya dari kasus ke kasus entah itu kriminalitas atau korupsi. Tapi, kalau tidak punya nasionalisme, kita mudah tercerai-berai,” jelasnya.

Selanjutnya, proses role model dan keluarga. Vincent menuturkan, saat kecil, apakah kita pernah memiliki pengalaman berinteraksi yang berbeda suku, agama, dan ras serta mendapatkan kesan baik.

“Kalau misalkan, kesannya buruk apakah di keluarga mengajarkan kita bahwa itu bukan karena rasnya, tapi karena karakter, genetiknya, atau memiliki sifat yang lebih buruk. Itu tidak ada hubungannya dengan SARA kalau perilaku itu, istilahnya oknum,” paparnya.

Terakhir adalah melalui proses interaksi pergaulan.

Vincent menegaskan, dari keempat proses tersebut perlu diperhatikan agar generasi muda memiliki rasa keterpanggilan untuk membangun Indonesia.

“Saya ikut melihat juga teman-teman yang anak dhuafa, saya pikir teman-teman yang tidak berkesempatan memiliki pendidikan yang cukup baik atau sosial ekonominya kurang baik apalagi sampai yatim piatu dan harus ikut pamannya. Masa kecilnya kurang menyenangkan dan lebih memiliki banyak tantangan agar bisa tumbuh dengan baik,” sambungnya.

Dia melanjutkan, ditambah dengan adanya data bahwa 1 dari 3 anak menderita stunting dan malnutrisi.

“Apakah bisa kita memproses pada jaman yang segala informasi hoax dan adu domba ini? Apakah mereka punya landasan yang kuat untuk merespon isu dari luar dengan positif,” kata Vincent.

Dia menyebut, masyarakat sepatutnya dapat membedakan oknum dan melihat sesama sebagai manusia.

“Kalau beda agama dan etnis, kita tidak bisa pilih dan tidak bisa disamaratakan,” ujarnya. [rif]