Kekhawatiran perubahan Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 ke Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 akan melemahkan KPK terbukti benar. Perkara yang sangat besar yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan itjih Nursalim itu tiba-tiba dihentikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3). Perkara itu sejatinya masih ditunggu-tunggu masyarakat bagaimana penyelesaiannya hukumnya, mengingat obligor Bantuan Likuditas Bank Indonesa itu ditengarai telah merugikan uang negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Sebelum membahas lebih ditail terkait keluarnya SP3 itu, lebih dahulu penulis akan menyoal bahwa sejak awal adanya “niat” Presiden Jokowi mengubah UU tersebut, telah dicurigai bahwa perubahan UU KPK lebih kental nuansa politisnya ketimbang alasan “komitmen” penegakan hukum anti korupsi. Desakan DPR dengan nuansa transaksionalah yang menyebabkan Presiden secara tiba-tiba menyetujui perubahan undang-undang KPK. Kala itu ada semacam “sandera” DPR kepada Presiden Jokowi bahwa jika UU KPK tidak revisi akan banyak hambatan yang akan dialami Presiden di parlemen terutama dalam kaitan dengan sejumlah legislasi dan hak kontrol DPR.
Di sisi lain, Presiden Jokowi sangat berkepentingan adanya koalisi besar di parlemen untuk memuluskan berbagai program dan kebijakan politik lainnya yang jika terhambat di DPR tentu akan mempersulit ruang gerak Presiden.
Tentu aspek politis seperti ini, jika dilihat dari sudut hukum tata negara, sangat merusak tatanan negara hukum. Dengan kata lain, secara teori dalam kasus “sandera menyandera” antara eksekutif dan legislatif yang berlaku adalah politik determinan atas hukum. Dengan demikian, kita bernegara dengan menafikkan konsep negara hukum. KPK akhirnya lumpuh akibat desakan politik seiring dengan runtuhnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Bertentangan dengan Putusan MK
SP 3 KPK sudah dikeluarkan, tapi sadarkah kita bahwa SP3 itu sejatinya bermasalah. SP3 yang termuat dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK itu, bertentangan dengan Putusan MK Nomor 06/PUU-I/2003. Putusan MK saat itu menyatakan bahwa KPK dilarang mengeluarkan SP3. Alasan prinsipnya jika KPK mudah mengeluarkan SP3, dengan kewenangan yang begitu besar dalam penanganan korupsi (extra ordinary) dikhawatirkan akan membuat KPK mudah menjadi sewenang-wenang dengan kekuasaannya (a buse of power). Oleh karena itu MK menetapkan KPK dilarang menerbitkan SP3.
Dalam kaitan, bagaimana jika KPK sudah menetapkan seseorang sebaga tersangkan, namun kemudan hari ditemukan fakta bahwa bukti permulaan tidak cukup? Terkait hal ini, MK pun sudah pernah menerbitkan Putusannya. MK dalam putusannya waktu itu menyatakan,KPK tetap harus membawa perkaranya ke persidangan dan menuntut bebas pelaku tersebut. Putusan ini dapat dipahami, mengapa ?. Oleh karena KPK dibentuk sebagai lembaga extraordinary dengan kewenangan sangat luas. Konsekuensinya, KPK harus menganut asas kehati-hatian yang ekstra pula dalam menangani sebuah perkara.
Terkait penghentian perkara, sebenarnya tidak harus bermodal SP3. Dalam menjalankan tugas sejak tahun 2016 KPK sudah sering melakukan hal itu. Tercatat hingga tahun 2019 lalu, setidaknya ada 162 kasus telah dihentikan pada tahap penyelidikan. Bahkan, KPK menurut undang-undang diperkenankan melimpahkan berkas penanganan perkara ke penegak hukum lain jika dirasa ada hal-hal yang tidak memungkinkan KPK menanganinya. Misalnya, perkara yang ditangani kerugian negara dibawah Rp 1 milyar atau tidak ada keterlibatan penyelenggara negara (sesuai Pasal 11 ayat (1) UU KPK, jika KPK menangani tentu bertentangan dengan dasar hukum tersebut. Jika kasusnya demikian, kelanjutan perkara itu akan dikembalikan kepada penegak huum lain, apakah akan dilanjutkan atau dihentikan dengan langsung mengeluarkan SP3. Praktik semacam ini pernah dilakukan dalam kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.