Terkait penghentian perkara, sebenarnya tidak harus bermodal SP3. Dalam menjalankan tugas sejak tahun 2016 KPK sudah sering melakukan hal itu. Tercatat hingga tahun 2019 lalu, setidaknya ada 162 kasus telah dihentikan pada tahap penyelidikan. Bahkan, KPK menurut undang-undang diperkenankan melimpahkan berkas penanganan perkara ke penegak hukum lain jika dirasa ada hal-hal yang tidak memungkinkan KPK menanganinya. Misalnya, perkara yang ditangani kerugian negara dibawah Rp 1 milyar atau tidak ada keterlibatan penyelenggara negara (sesuai Pasal 11 ayat (1) UU KPK, jika KPK menangani tentu bertentangan dengan dasar hukum tersebut. Jika kasusnya demikian, kelanjutan perkara itu akan dikembalikan kepada penegak huum lain, apakah akan dilanjutkan atau dihentikan dengan langsung mengeluarkan SP3. Praktik semacam ini pernah dilakukan dalam kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.
Isu krusial lain, terkait SP3 adalah,adanya pembatasan waktu penyidikan selama dua tahun. Pasal dan ayat ini banyak dikritik karena dianggap isinya naif. Bagaimana mungkin waktu penyidikan perkara korupsi yang sangat besar, kompleks dengan banyak aspek yang harus diselidiki,limit waktunya dibatasi. Pasal ini dianggap “simplikasi” terlalu menyederhanakan masalah. Dapat dibayangkan, dalam kasus besar seperti BLBI ini, selain pencarian bukti memakan waktu lama karena tersebar di dalam atau luar negeri, juga banyak aspek yang harus divalidasi dengan kehati-hatian. Dalam konteks ini, jelas ayat ini terlampau menyederhanakan masalah atau bisa jadi “sengaja” dibuat demikian untuk mendapatkan jalan pintas. Koruptor pun tidak bodoh, terlalu mudah bagi mereka menyiasati pasal ini. Bersembunyi di negara Singapura selama dua tahun, sudah cukup mengeliminir pasal ini. Padahal, seperti diketahui, kasus korupsi kerap menjerat pejabat yang kadang sulit (dipersulit) diproses hukum.
Kasus BLBI
Kasus ini diawali dari terbitnya SKL terhadap obligor BLBI yang telah lama menarik perhatian publik pada 1998. Pada saat itu, di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia, banyak institusi perbankan terdampak dan masuk pada kategori sebagai Bank Take Over maupun Bank Beku Operasi. Di antara sekian banyak bank yang terancam bangkrut tersebut adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dengan pemegang saham pengendali (PSP) atau milik Nursalim. Melihat kondisi saat itu, Bank Indonesia pun mengucurkan BLBI kepada BDNI sebesar Rp 30,9 trilyun. Setelah dicairkan, dalam waktu tidak terlalu lama, pemerintah mencium gelagat yang tidak baik, karena adanya berbagai penyimpangan atas suntikan dana tersebut.