DERU kereta api sarat penumpang menderu dari stasiun, berhenti di antara dua gang. Peluitnya melengking-lengking menunggu sinyal dinaikkan. Bersaing dengan musik kaset sember, entah apakah ada desah lain dari desah lokomotip.
Tak ada seorang pun tahu, seorang lelaki turun dari gerbong buntut. Menerobos pagar kawat besi pembatas rel, menyelinap ke anak gang yang gelap dan lembab.
Televisi di warung kopi menyiarkan berita rutin, tentang kekerasan dan korupsi. Mendadak breaking news, seorang reporter memberitakan tentang penyuapan di stasiun kota. Akan tetapi uang korupsi dalam ransel itu hilang di dalam kereta api. Diduga dirampok, jumlahnya satu milyar. Diduga si perampok saat ini masih berada tidak jauh dari stasiun.
Para pengkopi tercengang, ketika terdengar derap dan perintah, bahwa gang-gang itu telah dikepung pihak kepolisian. Segera ada penggerebegan dan pemeriksaan.
Para pengkopi terpana, hampir semua yang ada di kedai-kedai kopi itu beransel di punggung. “Semua keluar dan berjajar di gang!” perintah sang komandan, “taruh semua ransel di kaki masing-masing!”
LAKI-LAKI muda beransel yang tadi menyelinap ke anak gang, menyisir pinggir sungai yang gelap dan tampak beberapa sosok bagai manekin. Salah seorang menyapa dengan rokok di bibir, “sikasik, Mase…”
Mase segera mengambil segepok uang dari ranselnya, “ini saya kasih uang, bagi-bagi, tapi diam saja ya..!”
Tukas si manekin, “ashiaap..!”
Mendadak secercah nyala baterei menyorot, sigap si mas masuk ke bilik sumur yang gelap. Terdengar pekik seseorang sedang nongkrong kencing. “Ssstt..,” sergah Mase, “kamu Manekin ya.”
“Bukan, Mas, saya Silver Boy.”
“Oh ya, tubuhmu warna perak,” tukas si mas, “ada berapa pengamen di sini?”
“Ada sepuluhan, Mas.”
Mase segera mengambil segepok uang dari ranselnya, “ini saya kasih kamu uang, bagi-bagi, tapi diam-diam ya.”
“Siyaap..!”
Terdengar suara anggota bertanya kepada Manekin, “kamu lihat orang pakai ransel?”
Sahut si Manekin, “ike belon dipake, Om…”
Si Mas menahan tawa, kemudian mengendap bersama Silver Boy.
KEMBALI nyala batere menyorot, Mase masuk ke gubug plastik. Seseorang memekik, dan si mas pun menyergah, “ssstt..!”
“Saya gelandangan, kere,” bisik si pekik, “masa tega merampok orang miskin?”
Tukas si mas, “saya bukan perampok, saya Robin Hood.”
“Ooh, saya kira rampok.”
“Ada berapa gelandangan di sini?” bisik tanya si mas.
“Ada limapuluhan orang, mas.”
Mase segera mengambil segepok uang dari ranselnya, “ini bagi-bagi, tapi diam-diam ya.”
“Shaap.”
Mase kemudian menyelinap masuk ke pintu belakang satu rumah.
Pintu-pintu kamar tertutup, tapi dari satu kamar ia mendengar suara Isak tangis. Segera ia masuk dan menutup lagi pintu. Seorang boneka remaja duduk menangis dan terpekik melihatnya.
“SSSTT..!” sergahnya.
Si boneka tampak panik, “jangan, Om, jangan..!”
“Ya, saya akan diam saja, kalau kamu diam-diam.”
“Ya, Om.”
“Kamu kenapa menangis?” tanya Mase.
“Saya baru diperiksa, katanya yang cuma bawa ransel yang diperiksa. Saya nggak punya ransel diperiksa juga”
Tanya si mas lagi, “kamu boneka remaja kenapa di sini?”
“Saya diculik dan dijual.”
“O…”
“Si Om bawa ransel…”
Si Mas menelengleng, “oh ya, kalau begitu saya simpan di sini ya,” katanya seraya menaruh ransel di bawah meja.
“Isinya uang atau bom, Om?”
Tanya Mase, “Lha kamu butuh bom apa uang?”
“Saya perlu uang untuk menebus diri saya,” jawab si boneka, “saya ingin pulang, Om.”
Si mas segera ambil uang segepok, “ini untuk kamu, tebuslah dirimu, dan ayo saya antar pulang.”
KERETA API pagi mau berangkat dari stasiun dini hari. Si boneka dan Mase yang berias dan berpakaian perempuan naik ke dalam kereta.