Pintu-pintu kamar tertutup, tapi dari satu kamar ia mendengar suara Isak tangis. Segera ia masuk dan menutup lagi pintu. Seorang boneka remaja duduk menangis dan terpekik melihatnya.
“SSSTT..!” sergahnya.
Si boneka tampak panik, “jangan, Om, jangan..!”
“Ya, saya akan diam saja, kalau kamu diam-diam.”
“Ya, Om.”
“Kamu kenapa menangis?” tanya Mase.
“Saya baru diperiksa, katanya yang cuma bawa ransel yang diperiksa. Saya nggak punya ransel diperiksa juga”
Tanya si mas lagi, “kamu boneka remaja kenapa di sini?”
“Saya diculik dan dijual.”
“O…”
“Si Om bawa ransel…”
Si Mas menelengleng, “oh ya, kalau begitu saya simpan di sini ya,” katanya seraya menaruh ransel di bawah meja.
“Isinya uang atau bom, Om?”
Tanya Mase, “Lha kamu butuh bom apa uang?”
“Saya perlu uang untuk menebus diri saya,” jawab si boneka, “saya ingin pulang, Om.”
Si mas segera ambil uang segepok, “ini untuk kamu, tebuslah dirimu, dan ayo saya antar pulang.”
KERETA API pagi mau berangkat dari stasiun dini hari. Si boneka dan Mase yang berias dan berpakaian perempuan naik ke dalam kereta.
Si boneka menggandeng si mas wanita yang tampak hamil tapi senarnya hamil ransel berisi uang hampir satu milyar.
Tidak diceritakan oleh pencerita yang bercerita kepada saya saat kami menunggu kereta pagi, bagaimana nasib uang korupsi yang dirampok itu.
Yang jelas, sebelum naik kereta, si pencerita tampak curiga melihat ransel saya.***