Dalam kurun waku 5 tahun Anies memimpin Jakarta, apakah ada suatu bentuk supremasi agama tertentu dan menindas agama lain?
Oleh: Muhammad Fikri Efendi
BELAKANGAN ini serangan dan sentimen negatif terhadap Anies Baswedan semakin gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang bersebrangan dengan Anies. Julukan “bapak politik identitas” semakin diamplifikasi setelah dideklarasi sebagai bakal calon presiden dari Partai Nasdem.
Ia dianggap sebagai tokoh yang dihasilkan dari politik identitas, terutama dari PSI dan beberapa pegiat media sosial sepeti Denny Siregar dan Ade Armando. Politik identitas kini menjadi suatu yang berkonotasi negatif dan kita dipaksa untuk “alergi” dengan istilah tersebut.
Jika merujuk pada pemikiran Alexander Haslam dalam bukunya” The New Psychology Of Leadership’, ia mengemukakan bahwa jenis kepemimpinan baru atau new kind of lesdership sangat terkait dengan identitas sosial.
Keefektifan kepemimpinan berdasarkan bagaimana membangun rasa ke-kitaan dalam kelompok melalui identitas tertentu.
Identitas sosial mampu memberi energi yang besar kepada kelompoknya dan berpengaruh dalam menghadirkan mekanisme kognitif kedalam benak setiap individu sehingga membentuk link saling keterhubungan antara individu kepada kelompok.
Dengan identitas sosial inilah yang membuat terciptanya group behavior (sepeti prilaku, semangat) dalam group tersebut untuk bergerak bersama-sama dalam mencapai common goals.
Artinya, dalam suatu gerakan atau kelompok politik akan selalu ada Identitas. Politik identitas merupakan keniscayaan. Jika suatu kelompok identitas memperjuangkan kepentingaannya dengan dikonsensuskan dalam politik, itu suatu hal yang lumrah. Politik selalu membutuhkan istrumen identitas seperti agama, ras, suku, identitas budaya,ataupun faham ideologi.
Jika pengertian ini kita sepakati, maka sesungguhnya semua kerja elit politik dan gerakan politik di Indonesia selama ini adalah politik identitas. Dahulu, pertarungan antara PNI, Masyumi, dan PKI juga memperjuangkan identitasnya masing-masing baik agama ataupun faham ideologi.
Kemudian pasca reformasi, banyak bermunculan partai-partai berbasis agama baik partai Islam ataupun partai Kristen.Oleh karena itu politik identitas bukanlah barang baru dalam perkembangan politik di Indonesia.
Persoalannya adalah pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dimana Anies menang melawan Ahok, ia dituding membawa isu agama guna memuluskan jalan untuk meraih kursi DKI 1.
Kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI 2017 yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam dianggap oleh pihak yang anti-Anies bahwa ia memainkan politik identitas dan tidak sedikit yang mengasosiasikan Anies sebagai tokoh populisme Islam.
Padahal selama kampanye berlangsung, Anies tidak pernah mengajak orang memilih dirinya karena sesama muslim. Anies fokus berbicara program, visi, misi, janji politik, serta masalah di Jakarta dan bagaimana mengatasinya.
Jika ada kelompok-kelopok Islam yang berbondong -bondong menyatakan dukungan kepadanya, itu bukanlah Anies yang secara sengaja memobilisasi massa dengan narasi populis. Namun, umat Islam-lah yang justru secara inisiatif mendukung Anies dan menumpukan harapan kepada sosok Anies Baswedan.
Jika dukungan kelompok Islam kepada Anies diangap sebagai politik identitas, memang ada yang salah? seperti penjelasan diatas, politik identitas bukanlah sebagai barang haram. Menurut Amy Guttman, professor Komunikasi Politik sekaligus diplomat Amerika.
Politik identitas merupakan hal yang lumrah dan baik-baik saja selama berpegang pada prinsip-prinsip seperti; a) Equal Standing, yakni memperjuangkan kepentingan identitas tertentu tanpa mengganggu equal standing kelompok lain, b)Tidak melanggar liberty, yakni tidak mengurangi kebebasan orang lain dalam berpolitik dan c) Tidak menghambat identitas lain.