Scroll untuk baca artikel
Blog

Strukturalisme

Redaksi
×

Strukturalisme

Sebarkan artikel ini

STRUKTURALISME dalam ilmu anatomi adalah keserasian struktur wajah. Posisi mata, hidung, mulut, yang mesti terletak di tempat semustinya dalam kesatuan muka. Lalu keintegralan kepala pundak lutut kaki lutut kaki, seperti diajarkan lagu kanak-kanak.

Dalam Islam strukturalisme ialah nilai kejamaahan yang dilatih dalam sholat jamaah. Dalam sholat jamaah, tidak ada pemimpin dan yang dipimpin. Imam dan jamaah adalah satu kesatuan integral dalam ritual menghadap ke arah kiblat ke nilai tertinggi Allah, bukan ke ketinggian dinding, keindahan kubah dan kemewahan masjid.

Dalam ilmu budaya, strukturalisme bukan teori who’who, apa dan siapa, tapi mengapa dan bagaimana. Bukan semata, “matamu bagus,” dalam kesatuan wajah cantik. Bukan pula karena, sang imam yang kau hormati, dalam sembahyang Jum’atmu. Tapi apakah sholatmu benar sukses menghadap Allah, atau sekadar menghadap tembok.

Itu sebabnya, Milan Kundera menjawab teori Renne Descartes ‘cogito ergo sum’ (aku berpikir oleh sebab itu aku ada), dengan kalimatnya yang terkenal: ketika aku berpikir maka Tuhan tertawa. Sebabnya, tidak ada pusat atau yang istimewa dalam struktur kemanusiaan manusia.

Manusia adalah keutuhan dan keseluruhan jiwa raga. Itu sebabnya kala Descartes menjadikan pikiran sebagai sentral keberadaan manusia, Kundera menasbih: di saat itu tidak ada Tuhan sebagai penyatu eksistensi manusia dan kemanusiaan.

Sebagaimana ilmu sosial dan antropologi mengatakan, tidak ada yang lebih penting dari peran setiap orang. Seorang Sultan yang naik mobil pun saat pecah ban akan membutuhkan tukang tambal ban.

Lebih dari simbiosis, masing-masing peran mesti menghargai institusi posisi diri dan nilai kagunannya. Itu sebabnya ada khadis yang mengatakan: segala sesuatu harus diserahkan kepada ahlinya, kalau tidak tunggu saat kehancurannya.

Masing-masing mesti dalam posisi kesadaran struktural. Termasuk dalam ilmu kritik. Tatkala seorang kritikus mengkritik mesti berdasar kesadaran mengapa dan bagaimana, bukan who’who, semata karena masing-masing eksistensi institusi dan nilai itu bersifat multualistis.

Termasuk saat engkau mengkritik pemimpin, bukan apa dan siapanya, tapi mengapa dia disebut pemimpin, dan bagaimana dia sebagai pemimpin. Sampai pun pada konteks paling ekstrim, bukan menyamakannya dengan who’who Firaun, tapi barangkali secara mengapa dan bagaimana ada kemungkinan paling tidak mungkin: Firaunisme.*