Melanjutkan pembicaraan, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Jaya Darmawan, mengurai bagaimana struktur ekonomi Indonesia kini tengah menghadapi ketimpangan yang akut dan sistemik.
Ia bahkan menggunakan istilah yang tegas untuk menyebut kecenderungan ekonomi saat ini sebagai mirip dengan bentuk fasisme ekonomi.
“Pada suatu masa, kita pernah mengalami situasi ekonomi yang sangat terkonsentrasi, hampir bisa dibilang seperti fasis, di mana kekuasaan ekonomi hanya dimiliki oleh satu kelompok kecil oligarki,” ungkap Jaya.
Ia menyebut istilah ‘oligard’ yang belakangan sering terdengar dalam perbincangan publik, sebagai representasi dari dominasi kekuasaan ekonomi yang terlampau kuat.
Dari data yang disampaikan, Jaya mengungkapkan bahwa hanya 0,01 persen populasi Indonesia yang menguasai 50 persen dana yang beredar di bank.
Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki tabungan di bawah 100 juta rupiah hanya menguasai sekitar 12 persen dari total nilai tabungan nasional.
“Ini jelas menunjukkan ketimpangan yang tidak hanya terlihat dari sisi kekayaan, tetapi juga dari sisi distribusi tabungan,” katanya.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia kecuali beberapa kelompok seperti pondok pesantren atau organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah tidak memiliki tabungan dalam jumlah besar. Fenomena ini, kata Jaya, menjadi cerminan dari ketimpangan struktural yang lebih mendalam.
“Ketimpangan ini membutuhkan perhatian lebih agar tidak semakin melebar dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi,” tambahnya.
Dalam dimensi lain, KH. Ubaidullah Shodaqoh selaku Pengasuh Suluk Senen Pahingan, turut memberikan penekanan tentang pentingnya keadilan distribusi dalam konteks keislaman.
“Salah satu pelajaran penting yang kami tekankan adalah tentang pemerataan rezeki yang Allah berikan. Dalam Al-Quran, Allah mengingatkan kita bahwa harta tidak boleh hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja, tetapi harus merata kepada semua lapisan masyarakat, termasuk yang kurang mampu,” ujarnya Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah ini.
KH. Ubaidullah menekankan bahwa cita-cita kemandirian bangsa harus dimulai dari hal yang paling mendasar: ketahanan pangan.
Menurutnya, kedaulatan pangan merupakan pilar utama dalam membangun ketahanan nasional yang sejati.
“Kemandirian suatu bangsa, termasuk ketahanan nasional, tidak mungkin terwujud tanpa adanya kedaulatan pangan yang kuat. Ketahanan pangan menjadi salah satu pondasi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya. []