Berita seputar perubahan iklim sepi peminat lantaran pembahasannya sulit dipahami.
BARISAN.CO – Ada gejala menarik sehubungan dengan kebiasaan masyarakat dunia mengonsumsi berita perubahan iklim, di mana, jenis berita ini baru akan banyak dibaca—dan dipercaya—setelah masyarakat terkena bencana dahsyat.
Hal menggelitik itu tertulis dalam Digital News Report 2022 yang dirilis Reuters. Pada umumnya, berita perubahan iklim sepi peminat lantaran terkesan menuntut, menyedihkan, dan sering kali sulit dipahami.
Padangan umum itu berubah setelah bencana datang. Di Yunani dan Portugal yang baru saja menderita kebakaran hutan parah, atau di Chili yang mengalami kekeringan beberapa waktu terakhir, atau di Filipina yang sering disapu angin topan bulan-bulan lalu, mayoritas masyarakat menyempatkan diri membaca berita perubahan iklim.
“Bencana yang dirasakan masyarakat itu membuat isu perubahan iklim ‘lebih mudah dilihat’. Pembaca ingin memeriksa efek negatif dari cuaca ekstrem di tempat mereka tinggal,” demikian tulis laporan Reuters.
Di Yunani, Reuters menemukan sebanyak lebih dari separuh responden (53%) menyatakan tertarik membaca berita perubahan iklim.
Kecenderungan serupa juga ditemukan di Portugal (53%), Chili (52%), dan Filipina (52%). Sementara itu di Indonesia, hanya 39% responden yang tertarik dengan berita iklim.
Reuters mengumpulkan data lewat kuesioner yang disebar sejak Januari 2022 kepada responden. Sampel dipilih berdasarkan umur, gender, pendidikan, dan wilayah.
Secara menarik, laporan itu juga menunjukkan bahwa masyarakat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Norwegia, dan Prancis justru tidak terlalu tertarik membaca berita perubahan iklim.
Rupanya, selain faktor datangnya bencana itu sendiri, Reuters menemukan bahwa ketertarikan masyarakat membaca berita perubahan iklim juga kuat dipengaruhi oleh aspek pandangan politik.
Di negara-negara yang sangat terpolarisasi secara politik, berita perubahan iklim cenderung diabaikan lantaran hanya memperuncing perbedaan pandangan.
Di Amerika, misalnya, kita tahu bahwa sikap partai Republik dengan Partai Demokrat selalu berseberangan kalau menyangkut isu perubahan iklim.
Perbedaan itu membuat masyarakat negeri Paman Sam selalu menaruh syak wasangka bahwa ada kepentingan politik ‘kubu sebelah’ yang terselip di balik berita perubahan iklim yang dibacanya. Itulah sebab mengapa, mneurut Reuters, hanya 30% masyarakat di sana menyatakan tertarik membaca berita iklim.
“Orang mungkin lebih memilih topik yang membuat mereka tidak terpolarisasi,” demikian laporan Reuters.
Jelas bahwa menyampaikan berita perubahan iklim memang tidak mudah. Ada banyak faktor yang membuat informasi penting di dalamnya nyaris selalu kalah cepat dengan datangnya bencana.
Namun, bukan mustahil berita perubahan iklim menggaet atensi publik luas. Di Indonesia, misalnya, hal itu sudah dibuktikan Watchdoc, rumah produksi film-film dokumenter berbasis liputan investigasi yang digembongi oleh Dandhy Dwi Laksono.
Salah satu karya dokumenter Dandhy, Sexy Killer, telah berhasil membuka mata puluhan juta orang atas berbagai isu di pertambangan batubara di Indonesia. Film yang bisa diakses gratis lewat Youtube ini menggabungkan visual menakjubkan dengan cerita menarik dan pesan lingkungan yang mudah dipahami.
Artinya, selalu ada jalan untuk menarik minat publik agar memahami risiko bencana masa depan yang belum terlihat hari ini. Dengan pendekatan yang segar, berita-berita seputar perubahan iklim bisa ‘berdampak’ dan diperhatikan. [dmr]