Suud Rusli divonis mati setelah membunuh bos PT Asaba Boediharto Angsono tahun 2003.
BARISAN.CO – Sejak divonis bersalah dalam kasus pembunuhan berencana, awan mendung hukuman mati semakin mengambang rendah di hadapan Suud Rusli.
Suud Rusli, mantan anggota marinir batalyon intai amfibi (taifib), terbukti membunuh bos PT Asaba Boediharto Angsono pada 19 Juli 2003 di halaman parkir GOR Sasana Krida Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Pengadilan menjatuhinya hukuman mati setahun setelahnya.
Setelah vonis diberikan, dua kali Suud melakukan upaya melarikan diri. Pertama, tanggal 5 Mei 2005, Suud berhasil kabur dari Tahanan Polisi Militer (POM) Pangkalan Utama TNI AL (Lamtamal) II Gunung Sahari. Ia ditangkap sebulan setelahnya.
Suud kabur lagi pada 6 November 2005 dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis, dan ia tertangkap lagi. Namun, penangkapan kali kedua ini mendapat sorotan banyak pihak lantaran Suud diperlakukan kurang manusiawi.
Ia ditelanjangi sampai hanya menyisakan kain cawat, tangannya diborgol, matanya ditutup sarung, kakinya diikat, dan lehernya dikalungi tali tambang dan diseret ke sana dan ke sini oleh polisi militer yang menangkapnya.
Tidak ada penjelasan resmi kepolisian mengapa Suud harus diperlakukan seperti itu. Barangkali polisi berusaha memberi pengamanan maksimal mengetahui bahwa Suud merupakan prajurit yang terlatih mengatasi segala situasi.
Mengetahui hal itu, media massa, LSM, organisasi HAM internasional, bahkan TNI Angkatan Laut (korps tempat Suud pernah mengabdi) menyatakan keberatan dengan perlakuan polisi terhadap Suud.
“Perlu diwaspadai kejadian ini dapat memicu ketersinggungan terhadap korps tertentu,” kata Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf di Jakarta, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Kamis 1 Desember 2005, dikutip dari Liputan 6.
Pandangan Soal Hukuman Mati
Kini, sudah 17 tahun Suud Rusli mendekam di penjara. Ia menjadi satu dari 326 orang yang masuk dalam daftar tunggu eksekusi mati. Ia sempat mengajukan grasi pada tahun 2015, namun ditolak oleh Presiden Joko Widodo.
Kasus Suud Rusli memang menyisakan banyak dilema kemanusiaan. Secara umum, bisa dibilang Suud adalah salah satu produk penting dari praktik manusia Indonesia berhukum zaman ini.
Hukuman mati adalah jenis hukuman pidana terberat lantaran merenggut nyawa pelaku kejahatan. Dalam sudut pandang hak asasi manusia, ini berbenturan dengan tujuan berhukum yang menempatkan manusia pada posisi sentral, yang wajib dipenuhi hak-haknya untuk hidup.
Sementara itu, seturut laporan Amnesty International, sudah hampir dua per tiga negara-negara di dunia menghapus hukuman mati dalam upayanya menciptakan keadilan. Negara-negara ini memilih berada pada sisi abolisionis, yakni menghapus hukuman mati untuk segala jenis kejahatan.
Berkebalikan dari abolisionis adalah retensionis. Indonesia termasuk negara retensionis bersama dengan China, Yaman, Mesir, Zambia, dan lain-lain termasuk Amerika Serikat.
“Negara-negara yang menggunakan hukuman mati terus berkurang. Jangan sampai Indonesia berada di sisi yang salah dalam sejarah dan dikenang sebagai salah satu negara terakhir yang terus mempertahankan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat ini, meskipun telah jelas tidak ada manfaatnya,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam sebuah pernyataan.
Usman Hamid menilai, Indonesia lebih perlu membenahi sistem penegakkan hukum dan peradilan yang masih jauh dari adil, daripada mempertahankan hukuman mati dan menggunakan ancaman hukuman mati sebagai retorika politis demi mendapatkan dukungan sesaat.
“Padahal data telah menunjukkan bahwa hukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut tidak menurunkan angka kriminalitas ataupun memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan,” katanya.