Scroll untuk baca artikel
Fokus

Makin Banyak Negara yang Hapus Hukuman Mati

Redaksi
×

Makin Banyak Negara yang Hapus Hukuman Mati

Sebarkan artikel ini

10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Anti-Hukuman Mati sedunia.

BARISAN.CO Tanggal 10 Oktober 2022 esok adalah kali kedua puluh World Coalition Against the Death Penalty (Koalisi Anti-Hukuman Mati) memperjuangkan penghapusan hukuman mati di seluruh dunia.

Koalisi ini terdiri dari lebih dari 160 organisasi non-pemerintah yang dibentuk di Roma, Italia, pada tanggal 13 Mei 2002.

Setiap tahun, koalisi mengusung tema berbeda-beda untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa hukuman mati mencederai rasa kemanusiaan.

Tahun ini koalisi mengusung tema “Penyiksaan dan Hukuman Mati”. Tema ini didedikasikan untuk orang-orang yang diancam hukuman mati, atau sedang menjalani proses hukuman mati, dan menjadi korban penyiksaan atas itu.

Dalam keterangan resminya, koalisi mengatakan masih ada 28.670 orang di seluruh dunia yang sedang berada di ruang tunggu eksekusi mati.

Sementara itu China, Iran, Mesir, Arab Saudi, dan Suriah menjadi negara-negara yang telah menyumbang angka eksekusi mati terbesar pada 2021.

“Kami mengajak masyarakat sipil, pemimpin dunia, pengacara, guru, artis, jurnalis, pemimpin agama, dan lainnya untuk melanjutkan kerja-kerja menuju penghapusan hukuman mati atas semua bentuk kejahatan,” demikian bunyi rilis koalisi.

Koalisi mengatakan, semestinya, hukuman terhadap pelaku kejahatan harus bebas dari segala bentuk penghukuman yang kejam, penyiksaan yang tidak manusiawi, dan perlakuan buruk yang merendahkan martabat manusia.

Tujuan hukum adalah mengaktifkan efek jera terhadap pelaku kejahatan. Efek jera bisa diperoleh jika sebuah negara punya kepastian akan adanya hukuman. Sayangnya, banyak negara masih keliru menganggap kepastian adanya hukuman sama dengan tingkat kekejaman hukuman.

Maka kemudian banyak negara salah menulis konstitusi hukumnya bahwa semakin kejam hukuman semakin besar efek jera. Padahal, fakta justru berkata sebaliknya.

Banyak negara yang menjadi tertib tanpa mengakomodir hukuman mati. Banyak juga negara yang tetap punya tingkat kejahatan tinggi meski hukuman mati dilaksanakan secara berkala.

“Hukuman mati tidak pernah efisien dan tidak membuat masyarakat lebih aman. Tidak pernah ada bukti bahwa hukuman mati mencegah kejahatan lebih efektif daripada penjara seumur hidup,” tulis koalisi.

Ada banyak alasan lain untuk menghapus hukuman mati. Yang paling utama, koalisi percaya bahwa tidak satupun negara yang seharusnya punya kekuatan mengambil nyawa seseorang.

Jutru sebaliknya, negara perlu mengedepankan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup. Dengan kata lain, negara-negara retensionis (negara ang mengakomodir hukuman mati) sejak awal telah melanggar standar internasional.

Tren Hukuman Mati

Amnesty International, salah satu organisasi yang tergabung dalam Koalisi Anti-Hukuman Mati, mencatat bahwa terjadi peningkatan tren hukuman mati secara global dari setidaknya 1.477 kasus pada tahun 2020 menjadi setidaknya 2.052 kasus pada tahun 2021.

Angka tersebut belum merepresentasikan ribuan eksekusi di negara-negara yang menutup informasi tentang hukuman mati seperti China, Korea Utara, Vietnam, dan lain-lain. Angka pasti eksekusi mati bisa jadi berlipat-lipat lebih besar.

Meski demikian, Amnesty International juga mencatat semakin bertambahnya dukungan untuk menghapuskan hukuman mati dari negara-negara dunia.

Parlemen Sierra Leone, misalnya, tahun lalu telah mengadopsi RUU yang akan sepenuhnya menghapus hukuman mati.

Presiden Kazakhstan, contoh lain, menandatangani undang-undang penghapusan hukuman mati pada bulan Desember tahun lalu. Gerakan-gerakan serupa juga ditemui di Armenia, Afrika Tengah, Ghana, Malaysia, dan Filipina.