Scroll untuk baca artikel
Fokus

Dua Tahun Myanmar di Bawah Junta Militer, Lebih dari 2.900 Warga Sipil Tewas

Redaksi
×

Dua Tahun Myanmar di Bawah Junta Militer, Lebih dari 2.900 Warga Sipil Tewas

Sebarkan artikel ini

Indonesia digadang-gadang mampu membangun dialog mengakhiri konflik Myanmar.

BARISAN.CO “Dua tahun sejak kudeta, Junta militer Myanmar telah terlibat dalam spiral kekejaman terhadap rakyat Myanmar,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch.

Human Rights Watch melaporkan, situasi negeri pagoda emas semakin memburuk dari hari ke hari.

Menurut data terbaru, setidaknya 17.000 aktivis pro demokrasi telah ditangkap dan 2.900 tewas. Aparat keamanan telah melakukan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan massal, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Di luar penjara dan di luar peti mati, ada pula 40.000 rumah hangus dibakar; 1,5 juta orang mengungsi ke negara-negara tetangga; 8 juta anak tidak lagi bersekolah; dan menurut laporan PBB, ada lebih dari 15 juta orang sangat kekurangan makanan.

Dunia bukan hanya diam. Banyak bantuan mengalir. Namun, Junta justru memblokir bantuan kemanusiaan yang ditujukan ke daerah konflik.

Di Rakhine State misalnya—tempat orang Rohingya selama bertahun-tahun mengalami penyiksaan dan diskriminasi sistemik— Human Rights Watch melaporkan bahwa pasukan Junta membatasi aliran bantuan.

Pembatasan tersebut memperburuk kekurangan makanan, air bersih, serta meningkatkan risiko malnutrisi yang semestinya bisa dicegah.

Sikap Negara-Negara ASEAN

Tahun lalu, persisnya 24 April 2021, para pemimpin ASEAN bertemu di Jakarta dan membuat 5 poin kesepakatan soal kondisi Myanmar.

Pertama, penghentian kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. Kedua, dialog konstruktif untuk mencari solusi damai.

Ketiga, penunjukan utusan khusus ASEAN sebagai fasilitator mediasi dan dialog. Keempat, pengiriman bantuan kemanusiaan. Terakhir, kunjungan utusan khusus disertai delegasi untuk bertemu semua pihak terkait.

Namun, pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, terkesan sengaja mengabaikan kesepakatan tersebut.

Min Aung Hlaing tetap saja melakukan kekerasan. Ia berdalih menggunakan prinsip non-intervensi, di mana masing-masing negara ASEAN tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri setiap anggotanya. Hal ini membawa konflik ke arah jalan buntu.

Indonesia Bisa Kasih Solusi?

Banyak pihak percaya bahwa politik luar negeri Indonesia bisa mengubah situasi di Myanmar. Apalagi, Indonesia sekarang didapuk menahkodai keketuaan ASEAN 2023.

Dalam sebuah artikel di Jakarta Post, Charles Santiago, wakil ketua ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR), mengatakan Indonesia harus mengambil langkah pertama setelah cara-cara pendekatan yang digunakan semasa keketuaan Kamboja dan Brunei Darussalam dua tahun terakhir terbukti gagal.

“Indonesia harus mendorong sanksi, termasuk upaya memberlakukan embargo senjata, memotong aliran keuangan ke junta dan larangan bepergian di wilayah tersebut,” tulis Charles Santiago dalam Jakarta Post, dikutip Sabtu (4/2/2023).

Tampaknya harapan keketuaan Indonesia mampu menyelesaikan konflik Myanmar bisa terwujud. Hal itu bisa dilihat dalam acara pembukaan 32nd ASEAN Coordinating Council Meeting di Sekretariat ASEAN, Jakarta, kemarin Jumat (3/2/2023).

Pada acara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut telah menyiapkan 3 langkah menyelesaikan konflik berkepanjangan di Myanmar.

“Pertama, melibatkan semua pemangku kepentingan memfasilitasi kemungkinan dialog nasional yang inklusif. Kedua, membangun kondisi yang kondusif untuk memuluskan jalan bagi dialog inklusif,” kata Retno.

Dan pendekatan ketiga, lanjut Retno, adalah menyinergikan upaya ASEAN dengan negara-negara tetangga ASEAN yang memiliki keprihatinan terhadap isu Myanmar dan utusan-utusan khusus PBB dan negara-negara lainnya.

Upaya-upaya mewujudkan itu jelas tidak mudah. Namun setidaknya, Indonesia telah berani mengajak negara-negara ASEAN membahas isu Myanmar secara terbuka.