BARISAN.CO – Tahun 2022 akan menjadi tahun terakhir bagi bank umum untuk memenuhi kewajibannya, yakni memiliki modal inti minimum sebesar Rp.3 triliun, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Tak terkecuali Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang juga harus memenuhi modal inti tersebut agar tidak turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Untungnya, BPD diberikan kesempatan waktu yang lebih longgar sampai akhir 2024.
Namun demikian, kelonggaran waktu tersebut bukanlah obat penyembuh bagi permasalahan yang tengah dihadapi BPD dalam memenuhi modal inti minimum tersebut, melainkan hanya sekedar menjadi obat pereda sakit saja. Maka dari itu, BPD tetap berpacu dengan waktu untuk mencari formulasi yang tepat untuk mengumpulkan modal inti senilai Rp.3 triliun.
Kabar baiknya, di dalam aturan POJK tersebut, regulator pengawas industri keuangan itu memberikan solusi alternatif bagi bank yang tidak bisa mendatangkan investor strategis atau pemegang sahamnya tidak mampu menambah modal, yakni dengan melakukan konsolidasi lewat Kelompok Usaha Bersama (KUB).
Dengan skema KUB itu, bank-bank kecil di dalam KUB tidak perlu menambah modal inti hingga Rp.3 trliun, tetapi hanya perlu mencari bank yang lebih besar sebagai inang. Sehingga, kewajiban modal minimum itu cukup dipenuhi oleh inang tersebut. Selain itu, bank-bank kecil tersebut juga dapat memanfaatkan infrastruktur teknologi milik inangnya.
Itu sebabnya, skema KUB menjadi angin segar bagi bank-bank kecil, selain skema merger dan akuisisi yang umum terjadi, wabilkhusus bagi BPD. Di sisi lain juga, skema KUB tidak menghilangkan keberadaan bank-bank kecil yang sudah existing, sebagaimana memang tujuan dari aturan konsolidasi bank umum ini adalah memperkuat daya saing bank bukan mengurangi jumlah bank.
KUB sebagai Peluang Pengembangan Bisnis BPD
KUB sejatinya bukan hanya sekedar skema yang menghindarkan bank-bank kecil dari kewajiban memiliki modal inti minimum sebanyak Rp.3 triliun saja, tetapi diyakini juga dapat menjadi peluang untuk pengembangan bisnis bank-bank kecil tersebut. Termasuk juga bagi BPD yang dketahui memiliki keunikan lokalitas.
Sebagaimana mafhum, BPD sebagai bank milik pemerintah provinsi (pemprov) mempunyai keunggulan dan keunikan di daerahnya masing-masing. Sehingga, apabila BPD dapat berkolaborasi antar satu sama lain maka dapat membentuk jaringan bisnis perbankan yang besar di tanah air.
Mengutip dari CNBC Indonesia TV (24/08/2022), total aset BPD secara konsolidasi dari 27 BPD yang ada di Indonesia hampir mencapai Rp.850 triliun, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama PT Bank BJB Tbk, Yuddy Renaldi. “Kalau BPD ini bergabung kita (KUB BPD) berada pada urutan nomor 5 di Indonesia,” tukasnya.
Sementara itu, Yuddy mengestimai akumulasi laba seluruh BPD secara bottomline mampu mencapai hampir Rp.5 triliun. Laba sebanyak itu tentunya menjadi potensi besar bagi BPD ke depan. Apalagi, melalui skema KUB, Yuddy menilai dapat menjadi wadah bagi BPD untuk bisa tumbuh bersama.
Selain Bank BJB yang membentuk KUB dengan Bank Bengkulu, ada juga PT Bank Mega Tbk di dalamnya yang ikut menyetor dana investasi sebesar Rp.100 milyar ke Bank Bengkulu pada 2020 lalu. Memang, Bank Mega juga sebelumnya sudah melakukan KUB dengan 2 BPD lainnya, yakni Bank Sulteng dan Bank Sulutgo dengan menggenggam saham masing-masing sebanyak 24,9% dan 24,08%. [rif]