McKinsey memperkirakan, peluang bisnis ekonomi hijau dapat menghasilkan antara US$9 triliun hingga US$12 triliun pendapatan baru pada tahun 2030 di berbagai sektor termasuk transportasi, listrik, dan hidrogen.
BARISAN.CO – Transisi ke bisnis ekonomi hijau diperlukan bagi perusahaan untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan. Lingkaran yang sehat ini mendorong efisiensi sumber daya dan energi serta mendorong produksi yang berkelanjutan, memungkinkan penggunaan teknologi, proses, dan produk yang ramah lingkungan.
Meski, untuk mencapai ekonomi hijau melalui upaya seperti halnya dekarbonisasi memakan waktu dan memerlukan pengeluaran modal, hal ini semakin dilihat oleh bisnis itu sendiri sebagai peluang bisnis ekonomi hijau. Bagaimana pun, inovasi adalah sumber utama dari semua pertumbuhan ekonomi dan ekonomi hijau tidak berbeda.
McKinsey memperkirakan, peluang bisnis ekonomi hijau dapat menghasilkan antara US$9 triliun hingga US$12 triliun pendapatan baru pada tahun 2030 di berbagai sektor termasuk transportasi, listrik, dan hidrogen. Menurut OECD, beberapa sektor akan tumbuh lebih dari yang lain, tetapi dalam setiap sektor, perusahaan yang menggunakan sumber daya secara lebih efisien akan memiliki keunggulan kompetitif.
Sementara, UNDP mengungkapkan, berinvestasi dalam pemulihan hijau mulai dari energi terbarukan hingga meningkatkan luas lahan hutan dapat mengurangi kemiskinan ekstrem sebesar 15 persen. Pertumbuhan hijau dan pembangunan berkelanjutan sebagai pendorong ekonomi hijau
Namun demikian, untuk mencapainya, negara perlu menggandakan upayanya untuk membatasi pemanasan global saat ini, guna memenuhi Target Perjanjian Paris. Sedangkan, status proses pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) menunjukkan, Indonesia tidak meningkatkan ambisinya.
Bernadino Vega dalam laporan ACCA dan WWF Indonesia tahun 2012 menjelaskan, Indonesia bergulat dengan masalah bagaimana mendelegasikan pengambilan keputusan dan kendala utama, termasuk kurangnya kapasitas di tingkat daerah dan fakta bahwa wilayah Indonesia sangat luas secara geografis dan beraga secara ekonomi.
“Tantangannya adalah selalu mengembangkan kebijakan nasional yang relevan dengan semua daerah dan kapasitas lokal dapat membantu mengembangkan kebijakan ini,” jelasnya.
Selain itu, disebutkan, lingkaran setan telah berkembang, orang-orang berbakat sering kali enggan memasuki politik, yang mengarah pada pembentukan pemerintahan yang rentan terhadap korupsi atau miskin dalam dalam mewujudkan rencananya, sehingga semakin melemahkan bakat.
“Orang-orang berbakat tidak akan tampil, kecuali masalah seperti itu ditangani,” tambahnya.
Sementara, penelitian berjudul “Why Should in Indonesia Have To Apply Green Practices” yang dipublikasi Atlantis Press menemukan, di Indonesia penelitian yang membahas dampak kegiatan ekonomi UKM pada permasalahan lingkungan masih sangat minim. Padahal, antara UKM dan lingkungan adalah suatu masalah penting untuk dipelajari.
Selanjutnya, masalah lingkungan yang disebabkan oleh UKM juga tidak kalah buruknya dibandingkan dengan perusahaan berskala besar. Diungkapkan, perusahaan kecil memiliki dampak yang signifikan bagi lingkungan, pencemaran industrinya setara dengan 60 persen, namun pemilik/ manajer tidak memahami pentingnya perubahan perilaku.
Sedangkan, polusi global dihasilkan oleh UKM mencapai 70%, namun peranannya UKM dalam pembangunan berkelanjutan sering diabaikan. Juga, sejumlah besar UKM sering menimbulkan masalah lingkungan karena banyak yang tidak diatur dan tidak memiliki sistem manajemen lingkungan.
Bahkan, UKM seringkali tidak proaktif dan kadang tidak sadar lingkungan atas dampak kegiatan mereka. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa usaha kecil belum terlibat dalam masalah lingkungan. Bisnis kecil sering mengabaikan partisipasi untuk terlibat dalam perdebatan tentang perlunya mengubah perilaku lingkungan yang buruk dalam bisnisnya atau tindakan afirmatif.