BARISAN.CO – Tampak patung-patung berpakaian rapi, patung tersebut merupakan maneken yang didandani parlente. Patung maneken selayaknya pejabat, mereka membawa spanduk dan poster bertuliskan beragam persoalan krisis iklim.
Patung tersebut membawa pesan moral bertulisakan; Semarang darurat iklim, lead or we drown, climate justice now dan persoalan krisis iklim lainnya. Kritik sosial ini disampaikan Walhi Jawa Tengah, Mahasiswa, Seniman Semarang dan warga tambakrejo turut terlibat mensuarakan kampanye krisis iklim.
Patung tersebut merupakan bekas bangunan yang telah tenggelam yaitu tempat pelelangan ikan (TPI) dan berasal dari rumah warga yang sudah ditinggalkan.
Direktur Ekeskutif Walhi Jateng, Fahmi Bastian mengatakan kampanye ini merupakan respon atas diselenggarakannya Conference of Parties (COP) ke-26 di Glasgow Scotlandia pada tanggal 30 Oktober-12 November 2021 dan dihadiri oleh pimpinan negara di belahan bumi, termasuk Indonesia.
“Kampanye ini bermaksud untuk agar pertemuan COP 26 bukan hanya pertemuan elite global saja. Tetapi juga bagaimana mereka membahas terkait dengan komitmen negara-negara dalam menanggulangi krisis iklim,” terangnya, Jumat (5/11/2021)
Patung maneken merupakan karya dua seniman Semarang yakni Muji Konde dan Gunawan. Menurut Gunawan selaku perwakilan seniman menyampaikan bahwa kampanye ini pertujuan untuk membuka mata semua orang dan para pemimpin negara bahwa ada bangunan yang dahulunya adalah Tempat Pelelangan ikan, saat ini sudah tenggelam dan menjadi laut.
Sementara itu perwakilan warga Tambakrejo Dhani Rujito berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat di Kawasan pesisir yang terancam tenggelam dan hilang.
COP26 merupakan konferensi iklim terbesar di dunia dan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan. Pada konferensi-konferensi sebelumnya COP menghasilkan kesepakatan untuk menekan emisi gas rumah kaca lebih jauh lagi kesepakatan bersama adalah menekan krisis iklim dan mitigasi iklim.
Kesepakatan hasil COP
Menurut Fahmi, satu hasil kesepakatan yang mengikat adalah Perjanjian Paris dengan tujuan menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 1,5 derajat.
Namun, kesepakatan-kesepakatan dari hasil COP tidak disambut dengan serius oleh Pemerintahan Indonesia. Bahkan, pemerintah Indonesia mengabaikan mandat dan tujuan dari Perjanjian Paris.
“Hal ini jelas ditandai dengan laju alih fungsi lahan untuk kawasan industri, perkebunan sawit skala besar dan pertambangan begitu masif,” terangnya.
Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ditemukan juga, 2.104 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana banjir yakni seluas 4,5 juta hektar. Dan juga terdapat 744 konsesi pertambangan di seluruh Indonesia yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor seluas 6.154.830 hektare. Dari total tersebut, sejumlah yang 611.002 hektare di antaranya adalah konsesi pertambangan batu bara.
Walhi Jateng juga mensoroti, pemerintah Indonesia juga sama sekali tidak konsisten dalam menekan laju emisi karbon dengan tetap menghasilkan energi kotor dari PLTU Batubara. Setidaknya terdapat sebanyak 57 PLTU dengan total kapasitas 8.887 MW dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dalam ragam tahap pembangunan dan dengan total kapasitas 6.950 MW, berada di kawasan risiko gempa bumi.
Selain itu, hal yang patut di soroti adalah privatisasi pulau-pulau kecil dan pembangunan kawasan industri di kawasan pesisir yang menyebabkan tingginya laju penurunan muka air tanah. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan bencana-bencana di berbagai wilayah di Indonesia termasuk, hilangnya wilayah pesisir.