Relawan TTJ adakan kegiatan psikososial, pelayanan kesehatan, dan edukasi mitigasi bencana ke daerah terisolir di Cianjur.
BARISAN.CO – Anak-anak bisa merasa sangat ketakutan selama dan setelah bencana terjadi. Stres terkait krisis dapat berdampak buruk bagi anak, terutama ketika orang tua disibukkan dengan kelangsungan hidup sehari-hari.
Bencana alam dapat menyebabkan banyak kesulitan bagi para korban, khususnya anak-anak. Kesulitan itu bisa terjadi karena kehilangan tempat tinggal, kesulitan ekonomi, hilangnya dukungan komunitas dan sosial, serta bahkan cedera dan kematian orang yang dicintai.
Menjadi korban bencana bisa juga meninggalkan trauma. Apabila anak mengalami trauma masa kecil yang melibatkan reaksi negatif atau disebut stres traumatis. Itu diakibatkan karena peristiwa traumatis yang sulit diatasi anak. Namun demikian, peristiwa traumatis biasanya terjadi di luar kendali manusia.
Ada anak yang mendadak membisu dan enggan berbicara. Ada juga yang masih terbayang kejadian yang tidak diinginkan tersebut. Beberapa anak lainnya, mungkin mengalami kecemasan, mimpi buruk, atau kesulitan tidur.
Hampir satu bulan yang lalu, gempa bumi berkekuatan 5.6 SR menimbulkan banyak kerusakan permukiman dan banyak korban jiwa di Cianjur. Mengingat banyaknya jumlah korban, terutama anak, Turun Tangan Jakarta (TTJ) dari 11 hingga 12 Desember 2022 menerjunkan relawannya ke lokasi yang sulit dijangkau dan mengalami kerusakan parah, salah satunya ke Kampung Pasir Cau Kulon, Desa Sukaja, Kecamatan Cugenang.
Koordinator Turun Tangan Jakarta, Andhika Akbar mengatakan, sebelum turun ke lapangan, mereka melakukan assesment untuk mencari wilayah yang kerusakannya fatal dan belum terjangkau oleh relawan dan stakeholders.
Andhika menjelaskan, alasan relawan TTJ fokus di beberapa titik wilayah karena sulitnya akses ke lokasi, bahkan kanan-kirinya terdapat persawahan yang memang cukup luas.
“Artinya kalau mobilitas dengan kendaraan bermotor, sangat sulit,” kata pria yang akrab disapa Andhika kepada Barisan.co, Kamis (15/12/2022).
Melihat kondisi keuangan dan donasi yang masuk tidak begitu besar, namun memiliki jiwa humanis untuk terjun ke lapangan, mereka kemudian memutuskan untuk mengadakan kegiatan psikososial berupa trauma healing kepada anak-anak di sana.
“Kebetulan memang, waktu aku datang ke sana, nanya ke warga di sana, banyak sekali anak-anak yang memang masih memiliki trauma yang sangat mendalam,” jelasnya.
Dia menuturkan, banyak anak-anak yang belum mau kembali ke rumahnya karena saat gempa terjadi, mereka terlantar.
“Kemudian, lebih memilih di luar rumah karena mereka masih trauma dengan keadaan. Makanya, kita mengadakan psikososial dengan tujuan membangun rasa kepercayaan dirinya, semangat, dan bermain dengan anak-anak di sana,” tuturnya.
Andhika melanjutkan, salah satunya dengan mengajak anak bermain permainan edukatif agar mereka dapat terlibat berbicara dan aktif dalam kegiatan itu.
“Kita mengajak mereka mengenal budaya negarawan Indonesia. Ice breaking yang memang bisa mengajak anak-anak ini bergembira dan senang lagi seperti sedia kala,” lanjutnya.
Dia menuturkan, banyak orang tua dan anak-anak yang merasa antusias dengan kehadiran mereka, yang akhirnya membuat relawan TTJ menjadi lebih bersemangat.
“Relawan yang turun itu kurang lebih 18 orang. Kita naik dua mobil, nyampe di sana Jumat jam 12 malam, dan ada juga yang nyusul dengan motor pas hari Sabtu,” tuturnya.
Selain, psikososial, relawan TTJ juga mengadakan pelayanan kesehatan. Kegiatan itu dilakukan oleh relawan yang memang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
“Kita juga menyalurkan obat-obatan yang dibutuhkan,” ujarnya.