Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Dr Al A’raf: Indonesia Hadapi Ancaman Keamanan dalam Bentuk Keruntuhan Ekologi

Redaksi
×

Dr Al A’raf: Indonesia Hadapi Ancaman Keamanan dalam Bentuk Keruntuhan Ekologi

Sebarkan artikel ini

Diskusi Publik Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) dan CIDE dengan tema “Evaluasi 2022 dan Proyeksi 2023 : Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi HAM : Politik dan Keamanan,”

BARISAN.CO – Umat manusia di muka bumi sebagaimana disebut oleh Yuval Noah Harari kini harus siap karena akan menghadapi ancaman keamanan dalam bentuk Keruntuhan Ekologi, kerusakan lingkungan.

Demikian disampaikan Dosen Universitas Paramadina, Dr Al A’raf pada Diskusi Publik Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) dan CIDE dengan tema “Evaluasi 2022 dan Proyeksi 2023 : Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi HAM : Politik dan Keamanan,” Kamis (15/12/2022).

Dr Al A’raf mencontohkanh dari kemungkinan kerusakan ekologi telah kita lihat di Kalimantan pada proyek gagal Food Estate Kementerian Pertahanan.

“Pesan yang harus diingat dari kegagalan food estate Kalimantan itu adalah, jangan pernah kita mencoba lakukan upaya-upaya yang bukan menjadi domain pekerjaan kita. Kemenhan jelas tidak memiliki domain dalam urusan Ketahana Pangan. Hal itu adalah domain Kementerian Pertanian. Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan hidup,” imbuhnya.

Menurut Dr Al A’raf setelah era perang dingin usai, isu HAM menjadi isu utama yang menguat dan mendapat tempat dalam studi politik dan isu internasional. Tapi kemudian menjadi masalah Karena banyak negara dunia ke 3 yang melakukan represi dan kekerasan melawan kemanusiaan. Seperti yang terjadi di Bosnia, Myanmar, Aceh dan Papua.

“Masalah HAM menjadi satu diskursus penting. Namun meski menjadi isu penting, kebijakan luar negeri adalah refleksi cermin politik dalam negeri suatu negara. Hanya negara-negara yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kebijakan HAM di dalam negeri bisa confiden untuk melakukan politik luar negeri terkait HAM internasional,” imbuh Ketua Badan Pekerja Centra Initiative ini.

Lebih lanjut Dr Al A’raf mengatakan Indonesia dinilai gagal dalam pendekatan substansial untuk menyelesaikan masalah Papua. Sejak 32 tahun di era orba sampai sekarang, pendekatan yang dilakukan untuk masalah Papua selalu pendekatan keamanan, yang terbukti tidak efektif untuk pola penyelesaian. Korban-korban tetap berjatuhan dari semua kalangan, rakyat biasa, TNI-Polri dan pendatang.

“Papua jangan dipandang enteng akan berhasil dengan pendekatan dana Otsus dan infrastruktur, selama proses dialog dan penghargaan terhadap mereka-mereka yang tersakiti perasaannya akibat pendekatan keamanan 32 tahun orba sampai sekarang,” terangnya.

Sementara itu, Dosen Universitas Paramadina, Atnike Sigiro – Dosen Universitas Paramadina, menyapaikan dalam dunia diplomasi HAM internasional diketahui selalu ada ketegangan antara pandangan Separatis dengan pandangan Solidaris.

“Pandangan Separatis bukalah pandangan pemisahan diri dari suatu wilayah teritori negara, tetapi pandangan yang melihat bahwa sebetulnya dalam diplomasi internasional itu negara-negara tetap mempunyai batas kedaulatan negara tertentu dengan negara lain, atau dibatasi oleh teritori antar Negara,” sambungnya.

Kedua, pandangan Solidaris. Pandangan yang melihat bahwa diplomasi itu tidak dibatasioleh batas-batas kedaulatan negara karena masalah HAM pada dasarnya sesuatu yang bersifat lintas batas negara, dan bersifat internasional-global, tanpa melihat atau mengenali asal usul kebangsaan, ras, kelamin, etnis, agama dan sebagainya. Kedua cara pandang di atas selama ini selalu menjadi perdebatan dalam dunia diplomasi HAM internasional.

“Pandangan Separatis memandang bahwa HAM sesuatu yang sangat penting dan kuat. Lalu upaya untuk memperhatikan HAM sangat tergantung dari kepentingan nasional suatu negara. Jurisdiksi menjadi penting dalam pandangan Separatis ini. Namun pada akhirnya praktiknya sangat ditentukan oleh politik nasional atau kedaulatan suatu Negara,” jelas Ketua Komnas HAM ini.