KULINER rakyat yang barangkali ada di daerah mana pun di Jawa, bernama glotak. Di daerah lain mungkin beda nama, tapi di Tegal nama glotak sesuai dengan ciri karakter orang Tegal dalam hal memberi nama.
Glotak terbuat dari bahan dasar gembus (dari ampas tempe) yang dihancurkan. Dimasak dengan bumbu seumumnya bumbu sambel goreng. Diberi serpihan lombok ijo. Dan ini yang spesial; dipadukanlah balungan atau tulang sapi yang kalau bertemu gigi akan menimbulkan bunyi klotak-klotak. Lebih menegas lagi dalam aksen dialek Tegal: glotak-glotak.
Jadi, syahlah kuliner egaliter ini dibilang glotak.
Di kampung saya kala dunia kanak 1965 di Tegal, tersebutlah seorang wanita penjaja glotak bernama Yu Sur. Dia menjajakan glotak secara berkeliling, dengan bakul anyaman bambu yang digendong macam ransel.
Seorang wanita parobaya dengan karakter glotak betul dalam bahasa tubuh dan perilaku. Bebas tertawa dan merdeka bicara, sampai pada kemungkinan paling tidak mungkin saat menyebut alat vital.
Tapi pelanggannya justru kaum borju kolonial feodal di era peralihan orde lama ke orde baru. Ini makanan rakyat dengan penjaja egaliter sex seassion, tapi digilai kaum darah biru.
Ingat, kampung saya Cikrik — dari asal kata de Cric-crak (kucing, Belanda) — konon dipersiapkan sebagai perumahan berlontrong lontrong (gang-gang) rapi jali, bagi kaum ningrat goverment (bukan inlander).
Dari jalan post Daendels, terlontrong gang-gang dengan rumah-rumah berarsitektur Belanda tanpa meninggalkan tradisi Jawa. Lalu jalan desa, dan di seberang berlontrong gang-gang lagi, kemudian sungai. Dan di seberang sungai adalah perkampungan jelata, yang di situlah Yu Sur berumah.
Satu rumah berdinding gedeg anyaman bambu, berlantai tanah. Suami Yu Sur adalah seorang buruh pabrik yang ke mana pun suka berjalan kaki tanpa alas kaki. Hari-hari, kalau terdengar suara langkah berat..bug bug bug..itulah Kang Jum. Antitesa dengan suara sang isteri menjajakan jualannya: glotak, glotak..!
Pasca meletus peristiwa politik berdarah 1965, Cikrik bagai lontrong gelap di malam hari atas prosesi bahaya udara dengan listrik dipadamkan seluruh kota.
Di kegelapan jalan Cikrik itu setiap malam gulita satu peleton tentara berjaga. Ternyata situasi genting itu disikapi Yu Sur sebagai pasar. Ia menjajakan glotak bagi para tentara, dengan karakter egaliter sama. Sesekali terdengar celoteh si penjaja dan tawa tentara.
Di siang hari tentara bertugas menciduk orang-orang dalam katagori ‘terlibat’. Terutama orang-orang di seberang sungai. Muncul kekuatiran, jangan-jangan Kang Jum buruh juga bakal terciduk.
Ternyata tidak. Hingga masuk era orde baru, Kang Jum tetap terdengar langkah beratnya..bug bug bug…
Muncul dugaan, Kang Jum terselamatkan oleh interes isterinya, Yu Sur. Terutama karakter yang menyatu antara kemerdekaan perilaku dan kesedapan glotak. Yu Sur tidak tergolong cantik, tapi Yu Sur itulah glotak, glotak itulah Yu Sur.
Setiap warga borju darah biru kolonial feodal mengakui, kesedapan karakter Yu Sur yang bebas merdeka adalah kesedapan racikan kerakyatan glotak buatannya.***