Benarkah dunia hiburan itu wealth-fake-glamours, banyak kebaikan semu, banyak seolah-olah, dan banyak basa-basi busuk yang tampil di permukaannya? Benar.
Kita mungkin tak bisa menghakimi semua yang terlibat seperti itu, tetapi, sulit ditampik betapa dominannya kepalsuan dijajakan industri showbiz.
Teman saya, Muhammad Mantep namanya, terhitung jarang menonton acara berbau showbiz. Dia hanya yakin setiap gagasan buruk yang berkaitan dengan kebiasaan kita (dan gaya pergaulan kita) banyak bersumber dari artis-artis yang tampil di sana.
Muhammad Mantep meyakini kepercayaannya, meski tidak yakin dari mana itu berasal. “Semua gara-gara artis dan youtuber. Ya, youtuber juga.” Katanya kepada saya. “Yuk kita ngopi, Bung!”
Hari itu, saya sedang berkunjung ke rumah Muhammad Mantep. Kami ngobrol ngalor-ngidul, dan agak lama membicarakan perilaku keponakan dia yang terobsesi meniru artis TikTok—umurnya masih 10 tahun, dan, pas ditanya mau jadi apa dia kalau sudah dewasa, ia selalu menjawab ingin seperti Chandrika Chika ataupun Sarah Viloid.
“Ya ampun! Keponakanmu kibul banget.”
“Mereka artis TikTok, Bung. Menurutku sebetulnya Sarah Viloid kreatif dan enak ditonton, tapi tunggulah sampai anak umur 10 tahun berusaha menirukan dia, segalanya jadi gawat!” Jelas Muhammad Mantep tanpa saya pernah bertanya.
Warna udara di sekitar ubun-ubun Muhammad Mantep terlihat suram saat menceritakan itu. Tampaknya ia memang sudah demikian jengkel, mengetahui bahwa gagasan buruk menjangkiti orang terdekat yang tiap hari ditemuinya: mereka tinggal serumah.
Kita memang sedang hidup di dunia yang menjengkelkan. Bukan hanya bagi Muhammad Mantep, tapi, ya, kita semua tampak demikian tak berdaya di hadapan industri hiburan.
Kita misalnya, hanya bisa menyaksikan gemerlap pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Anangsyah yang digelar dengan cara merampok frekuensi publik yang disokong oligarki media itu.
Semua orang tahu Atta. Semua orang tahu Aurel. Mereka terkenal mampu memonetisasi kehidupannya. Tidak terlalu sumir menyebut bahwa pernikahan mereka itu juga mengantarkan pundi-pundi uang ke kantong mereka: jumlahnya boleh jadi fantastis.
Banyak orang silau melihat pernikahan mereka. Dengan kenyataan bahwa manusia sering lebih mudah menangkap kebenaran atas apa yang terlihat, tentu saja pernikahan itu berdampak ke banyak orang. Apalagi Atta tampak menjanjikan dan Aurel begitu anggun.
Pernikahan mereka seperti umumnya digelar artis-artis: mewah, tanpa cela, dan ‘bisa ditiru’. Poin terakhir inilah malapetaka bagi kita.
Meniru sedang dan terus jadi gejala sosial di Indonesia. Orang ingin meniru apa yang mereka lihat bagus. Sialnya, ‘proses meniru’ itu jarang diimbangi pula dengan ‘proses berhitung’. Padahal boleh jadi, di kehidupan sehari-hari, para peniru adalah orang malang yang diharuskan membanting belulangnya sekeras mungkin untuk sekadar bertahan hidup.
Tetapi, rasa keterikatan yang kuat pada tontonan atau idola tertentu, pada banyak kasus, membuat orang kemudian rela mengambil jarak bahkan memisahkan diri dari lingkungannya sendiri.
Mereka tak segan mengupayakan apapun, membeli barang itu-itu, mengubah sikap anu-anu, agar semirip mungkin dengan idolanya. Kehidupan mereka tersedot ke dalam arus showbiz (baca: hedonisme) tanpa pernah mereka sadari. Dan mereka tidak mendapatkan suatu apa kecuali kepalsuan.
“Keponakanku berusaha meniru. Ia sejatinya sedang menanam kepalsuan dalam dirinya. Kepalsuan itu tetaplah kepalsuan selama ia tidak mengalihkan pandangan kepada kehidupan normal di sekitarnya. Bocahku kui durung isa sawang-sinawang.” Kata Muhammad Mantep, lagi-lagi membicarakan keponakannya.