Gus Baha mewanti-wanti bahwa persoalan dewasa ini, baik orang pintar maupun bodoh sama-sama bisa terdikte oleh keadaan sekeliling. Maka, agama itu unik: “berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk padamu! Sambunglah orang yang memutus kamu!” Dengan demikian, kita hanya terdikte oleh Allah bukan keadaan, bukan oleh hukum sosial.
Sekira kita membaiki orang baik, itu wajar sekaligus gampang. Namun, sebaliknya, berbuat baik pada orang yang berbuat buruk itu yang susah, dan itulah yang justru jadi hukum agama atau perintah Tuhan. Bahwa kita sepatutnya hanya menjadi objek Tuhan. Bahwa kita jangan jadi objek keadaan. Bahwa kita harus berkomitmen untuk selalu berbuat baik, walau situasi sekeliling terus saja mengombang-ambingkan kita.
“Nabi saw terhadap orang munafik itu sabarnya minta ampun, padahal beliau tahu orang itu munafik. Karena dengan cara begitu, kebaikan Nabi saw itu adalah atas perintah Allah swt, bukan atas nama servis. Sehingga kita yang hidup di kurun kini mesti menghidupkan ajaran agama, yakni hanya akan bersedia didikte Allah swt.”
Betapa Islam merupakan agama yang tidak didikte oleh materi. Semisal kita ingin makan enak, jawaban Islam jelas, kita harus lapar banget. Buktinya, ketika puasa, kita memandang tahu tempe itu istimewa. Air putih pun menarik. Dan, kita lahap saat berbuka.
Sehingga enak tidaknya makanan, bukan karena selarasnya makanan itu dengan selera kita. Bukan karena bakso malang, bukan karena sate, atau apa saja yang umumnya enak-enak itu, melainkan oleh rasa lapar. Lauk terbaik adalah lapar banget. Sabda Nabi saw: “Kita ini adalah kaum, kita ini komunitas masyarakat yang tidak akan makan kecuali lapar. Dan, kala sudah makan, akan berhenti sebelum kenyang.”
Kita tidur juga demikian, enak tidaknya bukan lantaran berbaring di atas kasur empuk, melainkan oleh rasa kantuk yang teramat sangat. Alhasil, kita hidup tak lagi terdikte materi. Islam mengajarkan itu. Nabi saw meneladankannya. Dan, ulama (yang orisinil) akan dengan riang hati mewarisi ajaran sang nabi.
Demikian.