Benar-benar genting, realitas simbolik dan realitas objektif dewasa ini mengunggulkan manusia sebagai satu-satunya tujuan. Padahal, teori sejarah Islam melihat Tuhan sebagai tujuan akhir, “Dan, kepada Allahlah segala perkara dikembalikan.” (Al-Baqarah: 210).
Kemudian, berlandas konsep tiga realitas itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo menyitir hadits, “Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah dia mengubah dengan lisannya, dan jika tetap tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.”
Berbuat “dengan tangan” berarti realitas objektif. Nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits itu dikonkretkan, dapat dilihat, dapat dirasa. Sekira tidak, setidak-tidaknya umat harus sanggup menciptakan realitas simbolik, berbuat secara lisan, yaitu membuat konsep, berpikir tentang sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, dan seterusnya.
Namun, jika itu pun tidak sanggup, umat Islam kembali kepada realisasi subjektif, meneguhkan sistem itu dalam hati. Menghayati nilai Al-Quran dan Hadits.
Demikianlah, betapa iman harus berlanjut menjadi amal. Betapa aktualisasi diri itu pertama-tama dalam realitas subjektif, tetapi juga harus disertai dengan realitas yang objektif.
Betapa iman merupakan realitas dalam dan abstrak, mesti diikuti dengan berbuat yang konkret. Karena, yang simbolik dan objektiflah yang dapat berkomunikasi dengan sesama, yang dapat dirasakan oleh orang lain. Yang menguntungkan bagi segenap makhluk, sehingga rahmatan lil ‘alamin adalah nyata.
Begitu.