Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Tingkat Literasi Indonesia Sebetulnya Tidak Buruk-buruk Amat, Tapi ….

Redaksi
×

Tingkat Literasi Indonesia Sebetulnya Tidak Buruk-buruk Amat, Tapi ….

Sebarkan artikel ini
Tingkat Lliterasi Indonesia
Ilustrasi foto/Pexels.com

Aktivitas membaca publik Indonesia tinggi, namun kebanyakan yang dibaca adalah kitab suci.

BARISAN.CO Salah satu standar kemajuan sebuah negara yang sering dipakai adalah budaya membaca masyarakatnya. Dalam hal ini, asesmen Indonesia tidak terlalu mengagumkan.

UNESCO menyebut praktik literasi Indonesia secara keseluruhan tergolong rendah. Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Minat baca masyarakat hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Secara menarik, ada sebuah data rilisan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan sebenarnya publik Indonesia punya budaya baca yang lumayan. Pada tahun 2021, BPS menyebut sebanyak 87,78 persen orang Indonesia melakukan aktivitas membaca.

Anak usia sekolah (7-18 tahun) mendominasi dengan persentase sebesar 97,05 persen. Artinya, 9 dari 10 anak berusia sekolah melakukan aktivitas membaca.

Namun, aktivitas membaca menurun seiring bertambahnya usia. Data yang sama menunjukkan bahwa hanya 68,87 persen lansia (60 tahun ke atas) yang melakukan aktivitas membaca.

Nah, uniknya, dari tingginya aktivitas membaca tersebut, kitab suci adalah yang paling populer dibaca oleh masyarakat Indonesia.

Hal ini di satu sisi semakin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sangat religius. BPS mencatat, sebanyak 69,93 persen masyarakat Indonesia di segala umur sering membaca kitab suci.

Angka pembacaan kitab suci jauh lebih besar dibanding jenis bacaan lain seperti koran, majalah, buku cerita, buku pelajaran, buku pengetahuan, dan lainnya.

Angka-angka BPS bisa menjadi pertanda bahwa praktik membaca masyarakat Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk. Hanya memang kitab suci tidak termasuk dimensi pengukuran literasi dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan.

Sehingga seberapapun sering dibaca, kitab suci tidak akan kemudian menaikkan tingkat literasi.

Selain Kitab Suci

Apakah rendahnya tingkat literasi disebabkan oleh kurangnya produk bacaan berkualitas selain kitab suci? Ini mengerikan jika benar.

Dilihat secara sekilas, keraguan semacam itu agaknya berdasar. Banyak buku, media online, maupun pres rilis yang ditulis asal-asalan. Kaidah-kaidah penulisan banyak dilanggar. Ejaan-ejaan banyak salah ketik dan tidak sesuai EYD. Seolah-olah, sulit bagi masyarakat menemukan bacaan berkualitas di dalam rimba informasi.

Agak sulit untuk seratus persen menyalahkan publik soal rendahnya literasi jika faktanya banyak penulis yang tulisannya jelek, jurnalis yang tulisannya jelek, konten kreator yang tulisannya jelek.

Di tengah itu semua, kemudian ada kitab suci yang gaya penulisannya simpel dan mudah dimengerti. Banyak cerita dalam kitab suci yang, meskipun sederhana, namun kaya akan perangkat literer mulai dari metafora, ajektif, paradoks, plot, ironi, dan sebagainya.

Kitab suci membuat masyarakat Indonesia terpikat. Ia bercerita, dan cerita di dalam kitab suci punya kekuatan untuk menggerakkan. Namun, sekali lagi, kitab suci tidak pernah diukur dalam indeks literasi.

Pada intinya, tulisan ini hendak menyampaikan bahwa sekarang mungkin adalah saatnya untuk berhenti menyalahkan publik soal tingkat literasi yang rendah. Publik Indonesia sebenarnya punya budaya membaca, namun bacaan-bacaan berkualitas jarang ditemukan.

Tentu saja kita berharap agar literasi membaik, buku-buku makin berkualitas, dan media online makin beres menulis berita. Kualitas yang dimaksud di sini mestilah berdasarkan ukuran yang sedemikian rupa bisa mengalihkan kebiasaan publik membaca kitab suci ke buku-buku pengetahuan. Dan perbaikan soal ini tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu pihak. [dmr]